2. Akai dan Koleganya

Start from the beginning
                                    

Akai mengamati ujung sepatu robeknya. Cowok berambut merah itu menghela napas. "Aku mengerti, Morgan." Dia tersenyum simpul pada si anak berkacamata. "Terima kasih."

Tiba-tiba, pintu jeruji sel berayun terbuka.

Polisi dengan topi fedora muncul bersama pria tambun berjas. Pria itu berambut cokelat gelap, bertampang masam yang seolah akan marah kapan saja. Tak ada di antara Akai dan teman-temannya yang tidak mengenal pria ini. Dia adalah Tuan Jason Wicked, kepala penampungan pemerintah sekaligus asisten Hakim Agung. Bisa dibilang, Tuan Wicked adalah bapak asuh mereka. Pria inilah yang selalu menjemput anak-anak bermasalah di kantor polisi. Entah sudah berapa kali Tuan Wicked menulis surat permohonan maaf untuk anak-anak penampungan pemerintah.

Tuan Wicked mengamati kelima anak lelaki lekat-lekat, mata kecilnya nyaris menghilang di antara lemak pipinya. Dia paling lama mengamati Akai. Entah apa maksudnya. Akan tetapi, tatapan itu cukup membuat Akai meneguk air ludahnya.

"Chasire, tolong antar mereka ke penampungan pemerintah," ujar si pria. Suaranya serak dan rendah, tetapi tak kehilangan ketegasan.

Chasire memperbaiki posisi topinya. "Tentu, Tuan Wicked. Apa ada lagi yang bisa saya lakukan?"

Tuan Wicked mendengus. "Ya. Sebelum itu, aku ingin kau menyiapkan ruangan untukku." Dia meraba sesuatu dalam kantong jasnya. "Aku perlu bicara dengan Akai."

Membungkuk sopan dengan topi fedora di depan dada, Chasire berujar, "Baik, Tuan Wicked."

Pria tambun itu berbalik badan. "Jangan lupa rantai tangannya," tambahnya sembari berjalan meninggalkan mereka berenam.

Akai dan Morgan saling pandang. "Sudah kubilang," kata Morgan tanpa suara.

***

Suasana ruangan ini sangat suram, tak sejalan dengan warnanya yang cerah, kuning dan merah. Akai terus menerus gemetar di atas tempat duduknya yang berada tepat di belakang meja pada tengah ruangan. Kedua tangannya terantai di atas meja bertaplak hijau tua tersebut. Kepala Akai menunduk, air mata mengalir pelan dari pelupuk matanya.

Harga dirinya seolah jatuh. Setiap kali Akai terkena penalti, dia tak pernah diperlakukan begini. Apa yang dikatakan Morgan benar? Mungkin dia memang seorang cenayang sehingga bisa menduga hal buruk atau sekedar keberuntungan bisa memprediksi dengan tepat. Bagaimana pun juga, situasi ini benar-benar membuat Akai mati kutu.

Ketika pintu besi di hadapannya terbuka, Akai terentak. Pandangannya langsung tertuju kepada pria berbadan besar yang melangkah masuk dengan raut masam. Pintu di belakangnya berderik tertutup tatkala Tuan Wicked menyilangkan tangan di depan perut buncitnya.

Bila ini merupakan keadaan normal, mungkin Akai akan tertawa sebab dagu pria runcing itu memantulkan cahaya lampu ruangan. Bahkan Akai tahu kalau pria ini mengenakan rambut palsu untuk menutupi kepala gundulnya. Masalahnya, sekarang ia berada antara hidup dan mati.

Tuan Wicked mendengus. "Kautahu sudah berapa kali kau mendapat surat peringatan?" Suaranya terdengar berat dan serak. Akai menelan liurnya, tidak menjawab. "Kautahu?" Pria itu mengulangi dengan penekanan berarti sambil menyipitkan mata. Dia memandang tajam kepada Akai, mencoba menunjukkan bahwa ialah yang berkuasa saat ini.

Akai pun mengangguk terpaksa. Kandung kemihnya siap meledak saking takutnya dia sekarang. "Saya tahu, Tuan Wicked." Dengan suara gemetar parah, dia berkata pasrah.

"Bagus." Tuan Wicked kembali mendengus, tetapi kali ini adalah dengusan khawatir. Dia mengambil posisi untuk duduk di depan Akai. "Aku sudah berusaha semampuku, Akai. Namun, jumlah penaltimu tak bisa ditoleransi lagi oleh Hakim Agung."

"Saya mengerti, Tuan Wicked." Akai mencoba menyuntikkan keberanian dalam suaranya. Sudut matanya mengamati bapak asuhnya itu tengah mengambil sesuatu dari dalam kantong jasnya.

"Bacalah setelah aku keluar dari sini," ujar pria itu dengan mata mulai berair. Dia menyodorkan sebuah amplop kulit dengan tali merah--surat terlampau penting--kepada Akai. "Sepuluh menit lagi Chasire akan datang untuk menjemputmu dan kau bisa kembali ke penampungan bersama teman-temanmu untuk makan siang. Manfaatkan waktumu sebaik mungkin."

Pria itu pun berdiri, membalikkan badan setelah menatap Akai dengan sendu selama beberapa detik. Langkahnya berat ke luar dari ruangan, entak kakinya terdengar kasar.

"Baik, Tuan Wicked." Jawaban Akai terdengar lirih. Bahkan dirinya sendiri ragu kalau Tuan Wicked mampu mendengarnya di balik pintu yang berderit itu.

Kini Akai terdiam tak bergerak. Dia ingin membaca isi amplop yang ditujukan padanya, tetapi dia ragu melakukan. Mengangkat kepala untuk mengamati lampu di langit-langit, Akai menghela napas panjang. Dia sedang sangat kecewa dengan apa atau siapa pun yang menyebabkan rencananya tidak berjalan baik.

Padahal aku sudah memperhitungkannya. Dia memegangi kepala dan mulai mengacak-acak rambut merahnya. Mata hitamnya menatap meja frustasi. Setidaknya, biarkan aku melihat-lihat majalah dewasaku ketimbang menyitanya.

Cowok enam belas tahun itu membenturkan kepala ke meja. []

====================

Revisi 1# Kamis, 5 Agustus 2016

Another Way to Destroy The WorldWhere stories live. Discover now