44: Final Payback

Start from the beginning
                                    

Ælfric hanya memperbaiki posisi kacamatanya, sepasang mata tanpa pupilnya mash menatap Sakura lekat-lekat.

"Memutarbalikkan otak rakyatku?" tanyanya, dengan nada kaget yang kentara. Untuk sesaat Sakura mengira pria itu hanya berkomentar sinis, tetapi tidak. Pria itu benar-benar terkejut. "Aku pengendali angin, Sakura-ku yang tolol, bukan pengendali pikiran. Musik itu juga bukan ciptaanku." Kemudian, dengan nada tanpa dosa, ia melanjutkan. "Pertunjukan boneka itu hanya jebakan laba-laba, Sakura, tidak lebih. Tapi pohon yang tumbang itu sama sekali bukan urusanku," nadanya berubah marah, seolah teringat sesuatu. "Aku butuh tempat untuk menaruh cat minyakku—tapi si boneka rongsokan itu menghancurkannya! Dia melempar bom apinya ke segala tempat, membumihanguskan segalanya!" Ælfric mengepalkan kedua tangannya erat-erat sampai jemari plastiknya bergemeretak. Ada nada sinting yang aneh pada kalimat terakhirnya, seolah membumihanguskan segalanya adalah kegemarannya juga.

Sakura mengerutkan kening. Boneka sinting di hadapannya mulai kehilangan kewarasannya, rupanya. Lagipula, siapa itu "boneka rongsokan" yang menumbangkan pohon dan menghalangi jalannya menuju kantor pusat, sehingga ia dan teman-temannya harus berputar arah ke kediaman Maurice?

"Oh, dan perempuan-perempuan itu," lanjut Ælfric. Suaranya kembali tenang seperti biasa. "Raja yang memintanya. Aku tidak menginginkan mereka sama sekali—toh mereka juga bukan seleraku."

Sakura terdiam. Ia kehabisan ide untuk membantah. Bagaimanapun juga, yang diingankannya sekarang adalah kabur dari tempat ini... setelah membunuh pria itu.

"Puas, Sakura?" tanya Ælfric tenang.

"Belum," geleng Sakura. Secepat kilat, dipungutnya mutiara putih yang tergeletak di dekat kakinya, sisa-sisa tubuh boneka Katerina yang tercerai-berai. Matanya mendelik siaga ketika capit di punggung Ælfric mulai mengarah ke arahnya, siap menyakitinya kapan saja. "Jangan lupa soal Paschalis, bajingan."

Dengan sekuat tenaga, dilemparkannya mutiara raksasa tersebut ke arah Ælfric, selincah dan setangkas yang ia bisa. Bidikannya tepat sasaran. Mutiara itu menghantam Ælfric tepat di perutnya, mendorong pria itu beberapa langkah ke belakang, hampir meremukkan tubuh porselen-plastiknya. Perutnya rusak parah dan nyaris berlubang. Cairan hitam merembes keluar dari retakan yang ditimbulkan hantaman tersebut, tetapi Ælfric masih bertahan. Pria itu bangkit dengan setengah terhuyung.

Ælfric beranjak dari tempatnya, mulai mengejar sang gadis angin, langkahnya sempoyongan dan terbungkuk-bungkuk, seperti mayat hidup. Pria itu terbatuk beberapa kali. Sepasang matanya yang menyerupai manik-manik emas menatap Sakura dengan marah, capit besinya bergerak meraih-raih gadis itu, tetapi Sakura menghindar dengan mudah, dan langsung berlari. Berkali-kali gadis itu nyaris tertangkap oleh capit yang terus mengejarnya ke mana-mana; terkadang capit itu berhasil menggenggam sejumput rambutnya, merontokkannya dari kepala Sakura dengan paksa. Sering kali capit itu merobek ujung terusan hijaunya, meskipun tubuh Sakura yang ramping dan gesit—segesit yang ia bisa—selalu lolos dari cengkeramannya. Gadis itu memungut cambuknya yang terjatuh, kemudian berlari lagi.

Pria itu mengejarnya dengan terseok-seok. Darah hitam mengalir keluar dari rahangnya, jatuh mengotori dadanya yang telanjang dan celana kulit hitamnya yang sobek-sobek. Ælfric mengangkat capit besinya dan mencoba lagi. Gadis itu tetap lolos, dan ia tetap gagal. Namun bilah besinya berayun tepat di wajah sang gadis angin dan menimbulkan luka gores besar yang melintang di atas hidungnya. Sakura terhuyung ke belakang, terperanjat akan rasa sakit tiba-tiba yang diterimanya.

Rasa sakit itu mengingatkannya akan beberapa hai lalu, ketika ia meminta Higina untuk menurunkan kapaknya selagi bisa.

Dan gadis itu pun berhenti berlari. Ia tidak benar-benar menurunkan cambuknya, tetapi menyembunyikannya ke balik punggung.

ElementbenderWhere stories live. Discover now