6. Dae dan Sumpahnya

Start from the beginning
                                    

Dae baru melihat ke arah Sabeum Nam setelah disikut oleh Eunah. Cowok itu menahan napas sebelum menundukkan kepala untuk menghormati pria berambut putih di hadapannya. "Maaf, Sabeum," ucapnya takut-takut. "Saya tadi--"

"Apa yang kaulakukan? Duduklah di sini," ajak Sabeum Nam.

Dae membungkukkan badan sebagai ucapan terima kasih. Setelah memberikan botol air minum dan handuknya pada Eunah, atlet muda itu menyelip di antara teman-teman seperjuangannya yang tersenyum lebar padanya.

***

Kini Dae tidak lagi mengenakan dobok--seragam taekwondo. Pakaiannya sudah berganti menjadi celana kain dan kemeja kotak-kotak biru muda seperti warna dan motif sweter Eunah. Rambut ambernya acak-acakan dan sedikit basah. Pada bahu kirinya, bergantung tas ransel hitam yang warnanya mulai pudar.

Eunah berdecak-decak melihat tampilan adik lelaki yang hanya berbeda tujuh menit darinya itu. Mungkin dia tidak percaya dengan kenyataan bahwa cowok tak rapi ini terlihat amat gagah padahal hatinya seciut kucing. Dae bahkan masih ingat kalau Eunah tak yakin bila mereka benar-benar bersaudara.

"Hei, Dae." Eunah memanggil. "Menurut Dae, kenapa Dae dan Eunah kembar?"

Mata Dae melebar. Baru saja ia berpikir tentang hal itu, Eunah sudah mempertanyakannya. Mengerling ke atas untuk mengingat-ingat pelajaran biologi di sekolah, Dae bergumam, "Karena ada dua sel ovum yang--"

"Maksud Eunah bukan itu." Gadis itu menghela napas. Dia merapikan bagian atas kepala Dae dengan lembut. "Dae itu, kan, penakut, pesimistis, dan sebagainya. Kenapa Dae bisa jadi perwakilan kota, jee ja--murid--kesayangan Sabeum Nam, kegemaran siswa-siswi di sekolah, bahkan punya tubuh yang sehat?" Dia menggelengkan kepala. "Eunah tak habis pikir."

Punya tubuh yang sehat. Dae mengulang dalam hati. Dia pun mengelak, "Aku bukan orang yang seperti itu."

"Dae memang seperti itu."

"Aku tidak--" Mata Dae mengerling ke sekeliling. Dia dan Eunah sudah berada di jalan yang cukup ramai. "Ah, sudahlah," ucapnya mengalah. Walau demikian, semburat kemerahan mulai mewarnai pipinya. "Aku enggan berdebat denganmu."

"Eunah tidak mengajak berdebat. Eunah hanya ingin membuktikan!"

Dae berjengit. Suara Eunah sangat melengking. Penuh ragu, dia membalas,"Te-tetapi, bukan berarti kita harus ribut di tengah jalan, kan?" Kepalanya menunduk dalam-dalam, sementara tangan dan kakinya mulai gemetar.

Eunah menoleh ke kanan dan ke kiri. Dae lega karena, akhirnya, saudarinya sadar kalau orang-orang tengah melihat-lihat ke arah mereka. Merasa malu, Dae menarik rambut bagian depannya untuk menutup muka atau, setidaknya, untuk menghalangi warna merah pada wajahnya.

Namun, jantung Dae berdegup sangat kencang ketika seseorang merangkul dia dari belakang. Dia menoleh ke samping, ke arah anak lelaki yang tengah menyeringai padanya.

"Pulang latihan, Dae?"

"Cameron!" Eunah berseru. "Jangan merangkul Dae seperti itu!" lanjutnya berkacak pinggang.

"Hei, tenanglah Nyonya Eunah." Cameron mundur selangkah sembari mengangkat tangan.

Cameron, teman sekelas Eunah dan Dae, mengenakan jas hitam yang sangat rapi. Rambut hitamnya tersisir sangat licin di kepala, terlihat sekali bahwa ia mengenakan minyak rambut dari bagaimana sinar matahari sore memantul di atasnya. Matanya agak sembab, yang membuat Dae menyadari kalau sahabatnya ini pasti baru saja pulang dari pemakaman.

"Cam, hari ini ..."

"Peringatan kematian orang tuaku." Cameron menyambung sambil tersenyum paksa. Cowok itu melirik Eunah, yang tampak sangat tak senang dengan sikap Cameron tadi. "Maafkan saya, Nona Eunah," katanya dengan wajah memelas, "saya hanya tak ingin melihat Anda bertengkar dengan--"

"Sungguh, berhenti memanggil Eunah dengan nona." Gadis itu berdecak, kemudian menghela napas. "Omong-omong, Dae harus ikut Eunah sekarang!" Ditariknya tangan kanan Dae, menuntun saudaranya itu berjalan cepat-cepat.

Di belakang, Cameron berteriak, "Jangan kau sakiti sayangku, ya, Nona Eunah!"

"Berhentilah berkata bodoh, Cam!" balas Eunah.

Dae panik. Dia memberi Cameron tatapan memohon untuk ditolong dari balik bahunya, tetapi cowok itu hanya tertawa-tawa. Perasaannya menjadi semakin tak tenang. Dia sudah punya banyak pengalaman tak menyenangkan dengan Eunah yang seperti ini. Dengan dalih ingin memunculkan keberanian dalam diri Dae, Eunah akan mengajaknya ke suatu tempat yang akan membuat Dae hampir terkencing-kencing alih-alih nyaman. Rasa gugup merayap pada punggung Dae.

Ketika mereka melewati rumah berpapan nama "Kincaid", Dae mulai menarik tangan Eunah dan menghentikan paksa langkah mereka. Sayang sekali karena Eunah memilih untuk menatap Dae tajam, bahkan lebih tajam daripada burung elang. Dae meneguk ludahnya sendiri.

"Berhentilah memberontak, Dae. Ini untuk kebaikan Dae juga!" tukas Eunah dengan suara tinggi atau seperti itulah telinga Dae menangkapnya.

Pandangan Dae berputar-putar. Dia mulai sulit berkonsentrasi. Berkali-kali ranselnya hampir jatuh dari bahu.

Tiba waktu Eunah menghentikan langkah dan menunjuk puncak pohon kekuningan, hati Dae mencelos. Bibir bawahnya tergigit saking terkejutnya. Dia benar-benar harus pergi dari sini.

Persetan dengan Eunah! Aku tidak mau ke sini lagi! teriak Dae dalam hati.

Sesungguhnya, tempat ini hanya berupa tanah kosong dengan tiga pohon besar dan beberapa pepohonan kecil di sekitarnya. Semak-semak lebat menyebar. Rerumputannya yang sangat tinggi cocok untuk bermain petak-umpet. Sekilas ini bukanlah tempat yang asyik untuk dikunjungi, terutama ketika hari telah sore seperti sekarang. Apalagi tanah kosong ini diapit oleh gedung-gedung setinggi empat lantai yang membuatnya cukup kesulitan memperoleh sinar matahari.

Semenjak manusia kembali ke permukaan, mereka mulai membangun kota berdasarkan pengetahuan yang telah ada dahulu, tetapi dengan sedikit penyempurnaan terutama lahan terbuka hijau. Di Kota Yuza sendiri kau dapat dengan mudah menemukan pepohonan rimbun di sepanjang jalan. Kendaraan menggunakan model yang telah dikembangkan di Kota Bawah Tanah: kendaraan dengan bahan bakar etanol. Namun, karena tumbuhan jauh lebih sehat di sini, etanol dari permukaan lebih berkualitas daripada milik Kota Bawah Tanah, sehingga kota-kota di permukaan sering mengekspor etanol mereka ke Bawah Tanah.

Bangunan pun demikian, mereka menggunakan teknologi yang diterapkan di Kota Bawah Tanah, dengan pengembangan terutama dalam hal penggunaan energi. Bila Kota Bawah Tanah menggunakan etanol sebagai bahan utama energi mereka, maka kota-kota di permukaan menggunakan cahaya matahari sebagai yang utama. Walau demikian, energi cahaya matahari mulai dapat dikemas menjadi baterai beberapa dekade terakhir. Sekalipun teknologi itu sedang berkembang pesat, bukan Kota Bawah Tanah namanya bila mempunyai pemerintahan yang menyenangi ilmu pengetahuan.

Kaum Atas menyebut Kaum Bawah orang-orang paling kolot yang pernah ada. Untuk itulah Dae paling benci bila Eunah mengajaknya ke tanah ini.

"Aku tidak tertarik, Eunah!" Dae menarik tangannya kasar dari genggaman Eunah. Air mukanya tegang. Dia sedang menahan amarah. "Sudah kukatakan berulang kali, aku tidak mau ke tempat ini!" bentaknya.

Eunah mendecih. "Eunah hanya ingin Dae lebih berani--"

"Aku tidak mau!" Cowok itu memutar tubuh. Ketakutan yang merasuki setiap sendi tubuhnya makin menjadi. "Apa salah menjadi diri sendiri? Toh, aku masih akan tetap hidup." Helaan napasnya terdengar berat. Dia memutar tubuh cepat-cepat. "Aku pulang lebih dulu. Pastikan kau ada di rumah sebelum makan malam tiba."

Dae menggertakkan gigi. Ada sedikit rasa bersalah dalam dadanya. Memegangi tali tas yang tersampir di bahunya kuat-kuat, Dae mulai berlari. Napasnya yang tersengal tak dipedulikannya. Dia hanya ingin menjauh dari tempat itu.

Sebab Dae bersumpah tak akan menemui pria itu lagi. Firasatnya selalu berkata bahwa ia akan selalu terkena sial saat bersamanya, lebih sial daripada Eunah yang terus-menerus berusaha menyembuhkan fobia-fobianya. []

Another Way to Destroy The WorldWhere stories live. Discover now