BAB XV DIVORCE?

15.3K 1.2K 251
                                    

"Bercerai?" tanya Heri kepada bapaknya, suaranya sedikit tinggi meski dia berusaha untuk tidak berteriak.

"Ya," jawab Pak Pranoto tenang. Istrinya masih menangis, kali ini sambil memeluk lengan Niken erat. Sedangkan menantunya itu hanya mampu membalas pelukan erat tersebut.

"Membuat suami istri bercerai itu dosa lho, Pak," beritahu Heri.

"Berdosa mana kalau sampai menyakiti hati seorang istri?" Pak Pranoto balik bertanya kepada putra semata wayangnya itu, telak.

Heri terdiam, tidak bisa menemukan jawaban yang tepat.

"Kehidupan perkawinan kalian tidak sehat. Tidak sadarkah kamu?" Pak Pranoto kembali bertanya kepada Heri.

Heri masih diam, terpekur menatap lantai. Sedang Iva diam dalam kecanggungan setelah ditegur keras oleh mertuanya tadi.

"Bapak hanya memikirkan kesehatan jiwa kedua cucu kami," lagi-lagi Pak Pranoto bicara,sementara yang lain memilih diam mendengar.

"Kalian mungkin bisa saling berkelahi dan tidak merasakan dampak terberatnya. Bagaimana dengan anak-anak? Apakah harus setiap hari mereka melihat orangtuanya yang cuma ribut atau perang dingin?" lanjut Pak Pranoto, kali ini memandangi wajah Heri dan Niken bergantian.

"Semalam mereka sudah banyak bicara dengan Bapak dan Ibu," setelah menghela napas panjang, Pak Pranoto kembali bicara. Air mukanya begitu muram dan penuh kesedihan.

"Nay selalu takut jika kamu pulang dan menyerang bundanya," tatapan tajam Pak Pranoto langsung mengarah ke Heri. Laki-laki berwajah tampan itu tercekat mendengar kata-kata bapaknya.

"May bahkan sudah lagi tidak ingin kamu datang ke rumah mereka. Dia kecewa karena kamu tidak pernah ada untuk mereka, kalau datang pun hanya untuk marah-marah ke bundanya," lanjut laki-laki yang sudah lewat dari separuh baya itu.

"Jadi fungsimu sebagai suami dan ayah di mata Niken dan anak-anak sudah hilang," kali ini helaan napas super berat terdengar di ruangan ini.

"Kalau sudah begitu, buat apa kalian bertahan dalam pernikahan tidak sehat seperti ini? Kamu sering lalai mendampingi Niken dan anak-anak, dan Niken sudah tidak lagi bisa menerimamu karena kelalaianmu itu," ini kalimat terakhir dari mertua Niken kepada Heri. Kemudian Pak Pranoto mengusap wajahnya, matanya tampak berkaca-kaca.

"Dia seharusnya bisa menghormati suaminya," kata-kata Heri itu seperti ditunjukkan kepada Niken. Perempuan ini sudah ingin menyambit muka ayah dari anak-anaknya dengan asbak yang ada di depannya. Tetapi dia masih menghargai kedua orang tua Heri yang begitu menyayangi dan membelanya.

"Dia itu siapa ya,Mas? Nggak punya nama ya 'dia' itu?" tanya Niken kalem dengan nada yang menusuk

"Dia itu ya kamu!" bentak Heri.

"Sudah! Pantas saja Niken tidak bisa menghormati kamu lagi, Her! Sikapmu sudah berubah! Tidak bisa menyayanginya lagi!" kali ini Bu Pranoto yang bicara, dengan suara tinggi dan tangannya hampir saja menampar anak laki-lakinya.

"Saya begini karena Niken, Bu," sergah Heri tidak mau kalah.

"Kamu pemimpin, pengayom keluargamu. Kalau Niken begitu harusnya kamu yang intropeksi, kenapa istrimu sampai tidak lagi bisa berkata manis dan halus kepadamu! Kamu tidak memperhatikan? Niken sekarang jadi keras padahal dulu dia cenderung diam dan mengalah kepadamu?" Bu Pranoto dengan cepat menjawab dan menohok anak laki-lakinya itu dengan kalimat panjang.

"Ibu, kenapa membela Niken? Padahal Mas Heri yang anak kandung Ibu," sela Iva, mencoba membela suaminya itu di depan pasangan Pranoto.

Dan ternyata itu waktu yang tidak tepat untuk dia bersuara di depan mertuanya. Bu Pranoto langsung menoleh ke arahnya sambil melotot.

Revenge Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang