#cerita

10.8K 1.2K 105
                                    

KAMU, PAGI INI
a y u t i e n


Pagi ini saya menemukan kamu duduk di ruang tamu. Ibu pergi ke pasar katamu, diantar Bapak. Abang pergi kerja sejak subuh. Tinggal kita berdua saja. Sendirian.

"Saya lapar," katamu menepuk sepetak tempat kosong di atas sofa, di sebelahmu. "Saya beli bubur. Ayo makan bersama."

Saya masih bergeming. Tidak mau maju atau duduk di sebelahmu. Semenjak kemarin, saya sudah menanamkan pada diri saya sendiri untuk melupakan semua hal tentang kamu. Tentang kita dan semuanya. Tentang perasaan saya. Kata Ibu, itu semua buat kebaikan saya sendiri. Jadi saya percaya. Jadi saya bilang pada diri saya sendiri bahwa bahagia tidak semestinya terpusat padamu saja. Saya ingin percaya kamu pergi meninggalkan saya. Meninggalkan kita. Kenapa kamu kembali?

"Saya kangen kamu."

Saya juga. Saya juga. Saya juga. Sumpah demi Tuhan, saya juga kangen kamu.

Tapi Bapak bilang, saya tidak semestinya ingat kamu terus. Saya yang sakit katanya. Bapak saya menangis sewaktu saya bermain-main dengan pisau dan gunting. Bapak bilang, kalau saya pergi, Bapak dan Ibu yang akan sedih. Mereka yang akan tersiksa sampai mati. Saya tidak mau mereka sedih. Saya benci membuat mereka khawatir. Jadi, saya memutuskan untuk tidak lagi memikirkan kamu selamanya. Biar saya tidak tersiksa dan beradu lagi dengan benda tajam yang hanya membuat kulit saya jadi makin jelek esok harinya. Saya tidak mau berteman dengan kenangan. Tapi kenapa kamu malah datang dan merebakan semua yang sudah jadi lupa?

"Tiana?"

"Kamu enggak semestinya di sini sekarang."

"Saya tahu."

"Kamu pergi minggu kemarin."

"Iya. Kamu benar."

"Kamu ninggalin saya, Kaisar."

"Tiana ...,"

"Saya benci kamu."

Air mata terjun bebas. Bulir-bulirnya hangat di wajah saya. Saya heran mengapa mereka bergitu deras keluar dari mata saya yang tidak seberapa lebar, membuat mata saya sakit dan panas. Ada isakan. Saya juga dengar raungan. Menyedihkan sekali. Suara saya, kah?

"Enggak kangen kamu sama saya?" Kamu berdiri dari bangkumu. Merentakangkan pelukan. "Saya minta maaf karena pergi tanpa izin. Tanpa bilang terlebih dahulu. Tanpa isyarat, atau apapun. Sumpah, saya minta maaf. Bukan saya yang mau begini. Saya boneka yang dijalankan takdir, Tiana. Saya lemah enggak bisa melakukan apa pun, sekalipun itu hanya sebuah kalimat perpisahan. Saya menyesal. Saya minta maaf. Jangan menangis, Tiana. Saya sayang sama kamu. Ini juga menyakitkan buat saya," ucapmu panjang lebar. Air mata membentuk sungai juga di wajahmu yang lebih pucat dari terakhir yang saya ingat. Sungai yang lebih deras dari punya saya. Sungai yang biru, yang saya tahu pasti, berupa kejujuran kamu.

Saya jadi ingat Ibu dan Bapak yang juga memelihara sungai itu sewaktu saya menangisi kamu. Abang juga. Dia jarang sekali mau memeluk saya, kamu tahu, kan? Gengsinya selangit. Tidak ada lembut di kamusnya. Tapi sudah seminggu ini dia tidur di kamar yang sama dengan saya. Di atas kasur yang sama. Memeluk saya setiap malam dan bilang, sekalipun ada jutaan Kaisar yang pergi meninggalkan saya, dia akan selalu ada sebagai perisai. Pelindung adiknya. Dia minta maaf karena sudah lalai menjadi kakak. Dia minta maaf dan berjanji tidak akan membuat saya kesepian setelah ini. Abang bilang, kamu orang baik. Kamu pergi bukan karena membenci saya, melainkan karena kamu memang harus begitu.

Tapi saya tetap benci kamu pergi. Saya benci jika harus melihat kekasih saya yang selama enam tahun ini mengisi hidup saya dengan cinta, pergi membiarkan saya dikurung kesepian. Saya benci.

"Saya juga ingin kembali kalau saya bisa." Kaisar terkekeh setelahnya, "Saya bahkan enggak bisa meluk kamu sekarang. Saya harus bagaimana biar tangis kamu hilang? Saya sakit."

"Saya benci kamu."

"Itu lebih bagus. Saya minta maaf."

"Jangan minta maaf."

"Kalau begitu kamu jangan nangis.'

Hilang sudah kewarasan saya. Hilang sudah semua sekat di dada saya. Menangis! Saya meraung terisak dengan suara lantang, menyeruakan semua perasaan saya. Saya tidak bisa menahan apapun lagi.

Sungguh, saya kangen kamu. Suara kamu. Hangat peluk kamu setiap kali saya menangis sehabis dimarahi oleh Abang. Saya kangen marah kamu sewaktu saya mulai egois dan bertengkar dengan Bapak. Saya kangen nasehatmu sewaktu saya menjauh dari Ibu. Saya kangen rewelnya kamu. Saya kangen senyum kamu. Kangen harum tubuhmu. Deretan gigimu. Suara tawamu. Kecupanmu. Kecupan kita. Cinta kita.

"Bawa saya." Saya terisak mendekat ke arahmu. "Saya juga mau pergi sama kamu. Saya kangen kamu." Saya lupa pada Ibu. Pada Bapak. Pada Abang yang semalam janji akan membawa saya jalan-jalan membeli judul buku apapun yang saya mau. Saya lupa kamu pergi meninggalkan saya sehari setelah kita bercanda soal pernikahan. Saya lupa saya benci kamu. Tidak-saya tidak pernah membenci kamu. Kamu cinta pertama saya. Saya ingin kamu jadi cinta selamanya saya. Cinta abadinya saya.

Tapi sewaktu saya melompat ke arahmu, ke dalam pelukan yang kamu rentangkan, saya hanya bisa merengkuh udara dan menangis sejadi-jadinya di atas sofa.

Sebab pagi ini, saya menemukan tujuh hari sudah kamu pergi meninggalkan saya sendirian. Ke alam yang lebih dekat dengan Tuhan.

••

Yeah, mainstream. I know. Tapi gapapa. Yang penting saya nulis hohohoho

Random di Malam Minggu: Kumpulan FiksiminiWhere stories live. Discover now