001

292 10 2
                                    

..........

Tanpamu langit tak berbintang
Tanpamu hampa yang ku rasa

Seandainya jarak tiada berarti
Akan ku arungi ruang dan waktu dalam sekejap saja

Seandainya sang waktu dapat mengerti
Takkan ada rindu yang terus mengganggu
..........

***
Aku tersenyum-senyum sendiri mendengar potongan lirik lagu Raisa, berjudul LDR, yang diputar pak Hadi, sopir pribadiku di mobil.

Bukan karena aku punya pacar nun jauh disana dan sekarang lagi LDR-an. Tidak!!! Aku tidak punya pacar. Aku bahkan tidak pernah pacaran. Kalian tahu, jatuh cinta itu sangat sulit.

Aku tersenyum. Karena, detik ini aku sedang berfikir, bahwa sebenarnya, aku pun sedang LDR-an dengan seseorang yang entah siapa. Maksudku, LDR-an dengan si "dia", yang akan menemaniku seumur hidup. Mungkin akan lebih umum, jika aku mengatakan, pasangan hidup.

Kami tidak saling tahu, apalagi mengenal. Tapi aku yakin, tidak peduli seberapa jauh jarak yang mungkin membentang, jika waktunya tiba, aku pasti menemukannya. Dunia sudah modern, kan? Bukan saatnya lagi laki-laki yang mencari. Kalau perempuan mau, why not?

Dan aku akan terus mencarinya, lalu ia akan kutemukan tepat pada saat yang telah digariskan oleh takdir. Mungkin tahun depan, mungkin bulan depan, atau minggu depan, atau besok?

Atau, bisa juga detik ini.

"Ah, mahasiswa demo lagi," keluh pak Hadi.

Aku memandang keluar jendela untuk melihat sosok-sosok yang berteriak di tengah raungan kendaraan di bawah fly over. Mereka memegang bendera yang tidak biasa ku temui. Bendera berlatar hitam dengan rangkaian huruf Arab berwarna putih, serta bendera berlatar putih dengan rangkaian huruf Arab berwana hitam. Aku bisa membaca , kalau huruf-huruf itu saling terangkai membentuk kalimat, "laa ilaaha illa lLah, Muhammadur Rasuulullah"

Ada pula dari mereka yang berdiri berjejer memegang spanduk besar bertuliskan, "LIBERALISASI PENDIDIKAN BUKTI PEMERINTAH KHIANAT DAN DZALIM YANG MELARANG RAKYAT UNTUK CERDAS"

Aku bisa membaca dengan jelas tulisan itu. Bagaimana tidak, spanduknya sangat besar. Dan mobil juga berhenti akibat lampu merah, tepat di depan mobil pick up yang mereka paksa menjadi panggung.

"Mbak jangan mau seperti mereka," ucap pak Hadi yang membuatku sontak terkekeh pelan.

Tidak kebayang juga sih, kalau aku berada pada posisi perempuan-perempuan berhijab yang berdiri dengan poster di tangannya itu.

Sesekali mereka berteriak "Allahu Akbar !!!!"

Mungkin akan terlihat sangat menggelikan. Mereka yang tampak anggun dan lembut dengan hijabnya, bisa tampak setangguh itu hanya dengan meneriakkan kalimat "Allahu Akbar" dengan lantang.

"Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh....." Mataku mencari sumber suara itu, tepat di atas panggung.

Ada seorang laki-laki berambut gondrong yang terikat rapi berdiri di sana. Di bahunya tersampir sebuah jaket yang kuduga merupakan almamater kampus. Ia berteriak lantang seperti orang kesurupan. Suaranya menggema, seakan hendak merobohkan tulang rusukku.

Klakson mobil berdesing di ruangan yang penuh udara yang bergerak bebas ini.

Aku baru sadar, ternyata lampu hijau telah menyala. Pak Hadi mulai menancap gas untuk meninggalkan terowongan fly over yang penuh dengan polusi suara. Aku berbalik ke belakang, melihat laki-laki itu dengan toa'nya.

Not Cinderella's WeddingOn viuen les histories. Descobreix ara