Chapter 11: the number you are trying to reach receives and gives money

Începe de la început
                                    

Aku balas tersenyum canggung.

"Pasti lo udah siap-siap belajar buat ujian kenaikan kelas sepuluh." Hera menimpali.

Aku menatap semua orang di meja makan itu--hanya untuk mendapati bahwa mereka sedang menungguku untuk membalas ucapan Hera.

"Hmm, sebenernya itu udah gue pelajari sebelum masuk sekolah," jawabku jujur. Buat apa berbohong kepada mereka? Toh, mereka juga sudah tahu soal kehidupanku di rumah.

Papa tertawa. "Kamu masih Aira yang sama."

Setelah Papa mengatakan itu, kata-kata Mama tempo hari tentang Hestia langsung terngiang di kepalaku. Begitu juga kata-kata Arka.

Aku tersenyum lalu menatap Papa. "Iya, masih sama, kok."

Dan akan terus sama, tambahku dalam hati.

Aku sempat menangkap Hera yang sedang menatapku. Tapi cewek itu buru-buru mengalihkan tatapannya.

"Hera, kamu sendiri gimana?" tanya Papa. "Jangan bilang, uang kamu udah habis buat beli sepatu yang kemarin itu."

Hera menggelengkan kepalanya sambil tersenyum menenangkan. "Enggak, lah, Pa. Tenang aja."

Papa mengangguk-angguk. "Hera ini emang pinter ngatur uang, ya," katanya--entah kepada siapa.

"Iya, selama ini Hera enggak pernah minta tambahan uang jajan," tambah Fiona dengan riang.

"Kayak bakal dikasih aja kalau minta," kata Hera, bercanda. Biarpun begitu, Hera tampak agak memaksakan senyumnya.

Papa dan Fiona tertawa. Karena tidak mau dianggap aneh, aku ikut-ikutan tertawa canggung. Kali ini, Hera menatapku dengan aneh. Aku balas menatapnya, dan Hera hanya mengangkat bahunya kemudian melanjutkan makan.

"Aira pasti bisa kan, ya, ngatur uang kayak Hera?" tanya Papa, mulai membanding-bandingkan.

"Iya, bisa, kok," jawabku. "Belakangan, Mama suka dapat buku-buku bagus dari teman-temannya. Makanya aku pinjam punya Mama aja--walaupun jarang dibolehin, sih. Atau kadang-kadang, kalau lagi baik atau dapat dua buku yang sama, Mama ngasih buku ke aku."

Fiona tertawa. "Buku, ya? Harusnya bisa ditebak."

Aku tersenyum canggung.

"Kata Hera, waktu itu kalian jalan bareng, kan?" tanya Papa. "Katanya, Hera harus nyogok kamu pakai buku dulu baru mau diajak jalan?"

Aku tertawa kecil. "Ya, gitu."

"Emang kamu beli buku apa?" tanya Fiona.

"Buku tentang aksioma dan sejarahnya," jawabku.

Papa dan Fiona melongo. Sedangkan Hera masih sibuk dengan piringnya, dia bahkan tidak mengangkat wajahnya ketika aku dan orangtuanya sedang mengobrol.

"Apa pun itu," kata Papa. "Semoga kamu seneng. Hera emang baik. Kamu juga baik, kok--mau nemenin Hera belanja."

Lagi-lagi, aku tertawa dengan canggung.

"Tapi kamu juga sekali-sekali harus belanja, Aira," kata Fiona sambil memotong daging bebek di piringnya. "Maksudnya, belanja baju dan semacamnya--bukan belanja buku."

"Iya, Papa kan udah bilang, kalau kamu mau, ambil aja punya Hera. Kadang, Hera ngeluh udah bosen juga sama beberapa barangnya," timpal Papa. "Iya, kan, Hera?"

Hera mengangkat wajahnya. "Iya, Pa."

"Kenapa enggak habis ini kamu ke kamar Hera aja, Aira?" tanya Fiona bersemangat. "Hera, kamu kasih Aira barang-barang yang kamu udah bosen, ya. Kasihan Aira, nanti dia enggak punya baju," tambahnya, bercanda.

The Number You Are Trying to Reach is Not ReachableUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum