BAB XIV TIME FOR REVANGE

Mulai dari awal
                                    

"Dan kamu! Saya tahu kamu hamil! Tapi jangan manja! Kamu bisa minta tolong orang tuamu yang masih lengkap kalau memang saat itu sakit!" lanjut Pak Pranoto sambil menuding telunjuknya ke arah Iva.

"Menantu saya ini sudah yatim piatu! Dia yang harusnya lebih diprioritaskan oleh suaminya!" Pak Pranoto masih mengungkapkan amarahnya.

Iva, lagi-lagi tidak paham situasi hati orang lain, berdiri bermaksud melawan perkataan pak Pranoto.

Heri mencoba memberi isyarat kepada istri mudahnya itu untuk diam meski sia-sia pada awalnya.

"Saya hamil, Pak! Dan saya juga istri dan menantu sah Bapak. Kenapa bapak dan ibu lebih berpihak kepada Niken?" protes perempuan itu.

Pak Pranoto diam kemudian duduk. Sejurus kemudian menatap wajah menantu keduanya itu.

"Bagi saya dan ibunya Heri, istri dan menantu kami Cuma Niken, tidak ada yang lain," tegasnya pelan, dalam dan menohok hati Iva.

Iva langsung terduduk dan sengungukan di sebelah Heri yang langsung memeluknya, mencoba menenangkannya.

Niken merasakan cengkraman Bu Pranoto di lengannya semakin kuat. Diliriknya ibu mertuanya itu, ternyata pipi wajah anggun itu sudah basah oleh air mata. Niken pun merubah posisi duduknya, langsung dipeluknya perempuan berusia senja itu dengan lembut.

"Kami tidak pernah menghandiri pernikahan kalian, karena memang kami tidak pernah setuju dan menganggap kamu merupakan bagian dari keluarga kami," sekali lagi, Pak Pranoto menegaskan ucapannya kepada Iva.

"Tapi...tapi saya mengandung anak mas Heri," protes Iva lirih, di sela-sela tangisnya yang tiba-tiba keluar.

Niken menatap Iva iba meski di satu sisi ada rasa nyaman dihatinya mendengar ucapan bapak mertuanya barusan.

"Anakmu tetap merupakan cucu kami," balas Pak Pranoto tenang. Iva semakin nelangsa, dia menangis meraung-meruang mendengar ucapan bapak mertuanya itu. Heri memeluknya erat dan menenangkannya sekuat tenaga.

"Pak, jangan begitu kepada istri saya," protes Heri dengan suara lemah, berusaha membela Iva di depan Pak Pranoto.

Pak Pranoto menghela napas. "Untuk itulah bapak dan ibu memanggil kalian hari ini."

Heri, Niken dan Iva yang masih sengungukan, diam menunggu perkataan Pak Pranoto selanjutnya.

"Semalam kalian bertengkar lagi kan?" Pak Pranoto menatap wajah Niken dan Heri bergantian.

Niken dan Heri kompak menjawab. "Iya Pak, Maaf."

"Apa yang kamu rasakan setelah Heri menikah dengan perempuan ini, Ken?" tanya Pak Pranoto.

"Maaf Pak, jujur saya merasa tidak tenang dan tidak nyaman," jawab Niken lugas.

Pak Pranoto mengangguk mendengarnya.

"Kenapa?" kali ini Heri yang bertanya, nafasnya menderu, seolah menekan amarah yang tiba-tiba muncul.

Niken menghela napas panjang. "Setiap saya dan anak-anak membutuhkanmu, kamu tidak ada, Mas. Dan setiap mas Heri datang selalu terjadi keributan dan percecokan, bahkan terkadang di depan anak-anak."

"Itu karena kamu selalu melawan dan bersama si Rendy itu," sentaka Heri kesal.

"Kenapa bawa-bawa orang lain di sini?" potong Pak Pranoto dengan suara yang dalam.

"Karena memang Rendy selalu mengganggu hubungan kami, Pak," jawab Heri sebal.

"Bukankah Rendy, Malika dan Aga sudah bertahun-tahun bersahabat dengan Niken, bahkan sebelum kalian menikah? Kenapa baru diributkan sekarang kalau Rendy selalu ada buat istri dan anakmu? Bukankah seharusnya kamu yang intropeksi mengapa bisa seperti ini?" tanya Pak Pranoto bertubi-tubi, heran dengan sikap Heri..

Heri diam tidak bisa menjawab. Dia merasa seperti ditampar oleh bapaknya itu.

Suasana hening untuk sekian lama sampai Pak Pranoto kembali memecahkan kebisuan.

"Setelah melihat semua ini, untuk itulah bapak dan ibu memanggil kalian, dan kami dengan berat hati meminta kalian berdua bercerai," ucap Pak Pranoto dengan suara berat. Kali ini Bu Pranoto langsung pecah tangisnya.

Heri menatap wajah bapaknya tidak percaya. Dan entah mengapa Niken merasa beban beratnya langsung terangkat seketika begitu mendengar ucapan mertuanya.

Revenge Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang