BAB XIV TIME FOR REVANGE

Depuis le début
                                    

Iva dengan perut besarnya, wajahnya mulai penuh dengan kerutan kecemasan dan tidak lagi berseri lagi, berbeda dari beberapa bulan lalu, sebelum mereka menikah dan meminta ijin kepada Niken.

Berapa usia kandungannya? Tujuh bulan? Delapan bulan? Tanya Niken mengira-ngira dalam hatinya. Bukankah biasanya perempuan hamil selalu terlihat cantik dan berseri? Kenapa dia tidak? Kilatan kedengkian tiba-tiba mampir di benaknya.

Buru-buru ditepisnya kedengkian itu. Dia ke sini karena mertuanya dan sekaligus menjemput anak-anak. Bukan untuk berkelahi lagi dengan suaminya dan istri mudanya itu.

"Anak-anak mana, Bu?" tanya Niken memastikan.

"Dari tadi pagi dijemput sama Nak Aga, mau diajak berenang," jawab ibu mertuanya.

Niken paham. Hari iniakan ada pembicaraan serius, dan Aga serta Malika adalah satu-satunya sahabat keluarga yang dikenal baik oleh kedua mertuanya, diminta tolong untuk membawa anak-anak jauh dari sini.

"Ayo duduk. Kamu sudah sarapan?" tanya Pak Pranoto kepada menantunya.

"Sudah, Pak. Bapak dan Ibu sudah sarapan?" Niken kembali bertanya setelah menjawab pertanyaan Pak Pranoto.

Kemudian dia duduk, di sebelah ibu mertuanya. Posisi yang aneh, karena Heri dan Iva duduk di tengah, seolah mereka sedang menghadapi vonis hari ini.

"Sudah, Bapak dan Ibu sudah sarapan," pembicaraan basa-basi antara menantu dan mertua masih berlanjut, sedang Iva menampakkan wajah tidak suka dengan adegan keakraban tersebut.

Niken melirik Iva. Jemari istri muda suaminya itu erat mencengkram lengan Heri. Wajah suaminya itu pun tampak tegang, seolah ada bom C4 yang sedang ada di kaki dan lehernya.

"Baiklah, kita mulai saja," cetus Pak Pranoto dengan suara dalam dan berwibawa.

Niken menyimak dengan takzim. Ibu mertuanya melingkarkan lengannya ke lengan Niken, segera dibalas dengan tepukan hangat ke punggung tangan mertuanya.

"Heri, coba bapak tanya, yakinkah kamu sudah bisa adil kepada kedua istrimu setelah pernikahan ini berjalan?" Pak Pranoto langsung bertanya kepada anak laki-lakinya itu.

Heri yang tidak menyangka akan ditanya terlebih dulu, jelas gelagapan. Dia ternganga lama dan baru bisa mengatur nafasnya tiga menit kemudian.

"Saya...saya rasa, saya bisa," jawabnya terbata-bata dan tidak yakin. Laki-laki itu melirik Niken, tetapi istri pertamanya sama sekali tidak menoleh kepadanya.

"Benarkah? Lalu kenapa ketika Niken dan Nay sakit, kamu tidak mendampingi mereka?" Pak Pranoto bertanya kembali kepada Heri.

Lagi, Heri gelagapan sebelum bisa menjawabnya.

"Itu...itu karena Iva sakit juga, Pak," jawab Heri.

"Oh ya? Lalu kenapa kamu tidak menghubungi Bapak atau Ibu supaya bisa menjaga Niken dan anak-anak? Kenapa May malah menelpon Aga dan Rendy?" Pak Pranoto masih mengejar soal yang sama kepada anak laki-laki satu-satunya itu.

Heri makin gelagapan dengan pertanyaan demi pertanyaan yang diberikan oleh bapaknya itu.

"Itu salah Niken, Pak. Seharusnya dia menyuruh May untuk menelpon Bapak dan Ibu, bukan kedua laki-laki rese tersebut," Heri mencoba berkelit.

Dan Heri sedang melakukan serangan bunuh diri saat itu juga. Pak Pranoto langsung menggebrak meja.

"Kamu tahu kondisi Niken dan Nay saat itu? May hanya mengingat orang-orang yang akhir-akhir dekat dengan mereka, dan orang itu sayangnya bukan kami! Tahu kenapa? Karena kamu yang menjauhkan kami dari istri dan anakmu yang sah!" Ledakan amarah itu langsung menyerang Heri.

Revenge Of LoveOù les histoires vivent. Découvrez maintenant