Pelayan itu meronta-ronta liar. Biola itu menahan gerakannya.

Ayumi mengambil busur biolanya—yang sekali lagi berubah menjadi busur biola biasa, dengan senar yang terbuat dari rambut kuda—kemudian mulai memainkan biolanya. Biola tersebut masih menekan punggung sang pelayan. Digesekkannya nada-nada yang pernah Nanaho mainkan untuk sang Ayumi kecil. Nada-nada manis masa kanak-kanak yang sekarang terdengar menyedihkan. Mirip lagu pemakaman.

C ke E, E ke G...

Sang pelayan berteriak membabi-buta. Nada-nada tersebut menggetarkan rusuknya, menghunjam telinganya sampai berdarah. Ayumi menarik satu nada panjang menyayat: E, kemudian C. Pelayan itu meringis marah.

“Hentikan! Hentikan!”

Sang pelayan muda berdiri dengan susah payah—sebelah telinganya benar-benar meneteskan darah. Biola Ayumi terpelanting jauh. Pelayan itu menghunuskan sepasang pedangnya ke arah sang gadis ilusi, tetapi Ayumi berkelit. Ditekuknya lutut kanannya ke depan, badan meliuk sementara ia menurunkan posisinya setara pinggang pemuda itu,  kemudian mengangkat busur biolanya tinggi-tinggi dan menusukkannya ke pinggang sang pelayan sekuat tenaga. Berkali-kali. Sang pelayan muda memekik keras. Darah semerah cat meledak keluar dari luka yang menganga.

Kemudian, suara pekikan itu memelan. Sang pelayan muda menatap udara kosong untuk terakhir kalinya, dengan mulut terperangah, kemudian ambruk ke tanah.

***

Kini, tinggal dua orang pelayan dan satu majikannya yang tersisa.

Tabitha melirik dari kejauhan. Rira memiliki sebuah shuriken raksasa bersudut empat, dengan lubang berbentuk permata di tengah-tengahnya sebagai tempat menggenggam. Setiap ujung shuriken tersebut bergerigi tajam dan bernoda merah gelap. Pemuda itu menukik dan berkelit, berayun dan berputar, menghadapi satu pelayan dan satu elf berjanggut yang tadi melukai Sakura.

Itu baru satu pelayan. Di mana satunya lagi?

Sebuah batu seukuran kepalan tangan melayang ke arahnya. Tabitha merunduk. Batu itu melesat melewati kepalanya, menghantam tanah dan pecah berkeping-keping—diikuti suara ledakan. Sang gadis air terlonjak; ledakan itu mendorong tubuhnya terpental ke arah berlawanan dan tepat mendarat di atas garis pinggir lautan cat minyak yang hampir dilupakan semua orang.

Sang gadis air merasakan cat-cat lengket dan dingin membasahi tangan kanannya yang terkulai lemah. Ia menegakkan kepala sedikit, kemudian mengangkat tangannya dari genangan cat. Bagus. Lengan gaunnya yang semula putih kini berwarna merah dan kuning dan hijau.

“Di mana kau?” teriak Tabitha, suaranya timbul-tenggelam di antara riuhnya jalanan oleh jeritan dan suara patah tulang.

Patah tulang. Tabitha bangkit dari posisinya yang sangat tidak nyaman dan bersyukur karena masih bisa berdiri di atas kaki-kakinya sendiri. Tidak ada tulang yang patah. Tabitha menoleh ke kanan-kiri. Penyerang yang melemparkannya bom skala mungil itu tidak terlihat di mana-mana. Ditariknya tombak tersebut dari belakang punggungnya, menatap sekeliling dengan waspada sambil memutar-mutarkan tombaknya 360 derajat. Setengah hati kecilnya menyuruh gadis itu agar kabur dari kegilaan ini.

Sebuah sosok bersaput bayang-bayang melintas di bawah pohon, di antara semak-semak kering yang tinggi. Gadis itu bergeming.

Tabitha melangkah ragu-ragu. Sosok itu lebih kekar dibanding pelayan-pelayan lainnya, dan di tangannya terdapat sekantung besar batu-batuan—bom skala kecil? Belum apa-apa, nyalinya sudah surut. Bahkan ia tidak akan bisa menggebah sosok itu pergi. Dia hanya seorang gadis kecil.

“Kau-lah pengendali airnya setelah aku pergi,” perkataan Nozomu terngiang-ngiang di telinganya. Saat itu, Tabitha kecil patah semangat karena tidak berhasil mengendalikan satu gelombang laut pun. “Dan duyung-duyung nakal yang bilang kau tidak bisa apa-apa karena kau perempuan itu hanya membual. Kau bukan perempuan. Kau seorang lady.”

ElementbenderWhere stories live. Discover now