19. Pacar (i)Legal

8.4K 475 32
                                    

Menjadi korban pelecehan seksual apalagi pemerkosaan merupakan suatu luka yang tak bisa disembuhkan dengan apapun. Hanya kadar keimanan yang dapat membawanya memilih antara mati atau bertahan.

Apalagi kita sedang dalam masa dimana orang yang menjadikan wanita-wanita muda sebagai arca yang hampir tak berbusana menjadi sedemikian dipuja. Sementara korban perkosa tak mengenal kata adil dalam hidupnya, yang ada hanya terbunuh pelan-pelan oleh hinaan, seolah-olah ia seorang pendosa. Ya, kita ada era sekejam itu saat ini.

Dan hal yang paling ngeri saat ini adalah menjadi saksi kehancuran seseorang hanya karena tindakan bejat oknum yang otaknya sudah geser atau bahkan meluncur bebas ke dengkul dan saraf-saraf dikepalanya tak lebih baik dari serabut kelapa. Jangan tanya hatinya, sudah barang pasti hatinya sudah lama mati atau membatu.

Nafsu. Iya, nafsu biang keladinya. Kemampuan dalam mengendalikannya yang menentukan manusia tersebut lebih tinggi atau lebih rendah derajatnya dari binatang.

Semua pemikiran itu berputar di kepala Aisy, membuatnya seluruh tubuhnya gemetaran, kepayahan menangguli semua kemarahan dan ketakutannya. Ia ingin sekali membuang jauh segala persangkaan buruknya, berharap apa yang didengarnya beberapa menit lalu adalah sebuah kesalahan. Tapi rasa takutnya selalu mendominasi isi kepalanya.

Sementara bagi Zaky, apa yang dilihatnya kini merupakan kado pernikahan terburuk yang didapatkannya. Ada rasa ngilu di ulu hatinya melihat Aisy yang sejak menerima telpon tadi hingga kini mereka ada dalam perjalanan masih tak berniat menangguli air matanya yang terus meleleh di pipinya. Ia jadi tahu apa yang ia benci kini, yakni melihat Aisy menangis.

Tangan kiri Zaky terulur dengan tangan kanannya yang masih di kemudi, diraihnya jemari Aisy yang buku-buku jarinya memutih akibat terlalu meremas gamisnya. Jemari yang gemetaran itu tersentak sejenak, sebelum kemudian gemetarannya mulai berkurang.

"Tenanglah, Sayang. Doakan dia baik-baik saja..."

Aisy tergugu "Hiks. Hiks. Dia terlalu muda, Mas. Aku takut kalau dia__"

"Eits," potong Zaky. "Nggak boleh berpikiran negatif. Kita berdoa saja semoga Allah menjaganya. Dan harus ingat, kalau Allah itu sebagaimana persangkaan hambaNya." Jemari Zaky sudah bergerak mengusap air mata Aisy. Hanya pipi kanan yang berhasil dicapainya. Disusul Aisy yang kemudian mengusap habis air matanya dengan ujung kerudungnya, gerakannya yang seperti seorang bocah membuat Zaky sempat tersenyum tipis.

"Maaf, Mas. Seharusnya kita sedang berbahagia..." ada nada kegetiran disana.

Zaky tersenyum. "Jangan merasa seolah-olah kamu yang bersalah disini."

Aisy merangkum jemari Zaky dengan kedua tangannya. Ajaibnya, hanya dengan itu rasa takut yang sebelumnya menguasai dirinya perlahan menyusut.

"Belok mana nih?" Dagu Zaky menunjuk ke depan.

"Bundaran itu ambil kiri, Mas. Tolong lebih cepat, Mas."

***

Tap tap tap.
Langkah kaki Aisy benar-benar semrawut. Suaranya bergema di koridor sepi. Ia berlari secepat yg ia bisa. Zaky mengekor sehasta dibelakangnya, meringis membayangkan istrinya jatuh kesrimpet dan berguling-guling. Ekspresi yang sama setiap lihat kegesitan perempuan yang terkurung gamis atau roknya.

Bila dilihat sekilas, mereka seperti beradegan lelaki yang mengejar perempuan. Hari yang sudah terlalu sore dan barangkali memang kegiatan sekolah yang tidak ada hari ini yang membuat tak seorang pun menyaksikan adegan 'Kuch Kuch Hota Hai' Zaky dan Aisy tak ada yang menyaksikan.

Satu tujuan mereka, mushola sekolah. Letaknya tepat di sisi kiri kantor guru.

Brak!!
Hampir rontok pintu mushola yang sebagian dari kaca itu dibuka Aisy. Ekor matanya menyapu bersih mushola sampai dilihatnya dua sosok gadis belia yang masih berseragam putih abu, mereka saling berpelukan, ah, bukan saling karena lebih tepatnya gadis yang berkerudung itu sedang mengunci gadis yang tidak berkerudung dengan gerakan memeluk kuat dari belakang.

LOVE GUIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang