3: Anti Galau

8.6K 483 7
                                    

Karena bukan pada manusia kepasrahan disandarkan.

***
Aisy POV

"Ehm..." Bunda berdehem. Memperbaiki posisi duduknya dengan melipat kedua kaki. Saat itu mereka tengah asyik membungkus snack yang akan diambil esok pagi.

"Jadi gimana, Yi? Sudah ada jawaban untuk ibunya Wawan?" Tanya bunda. Kulihat bunda memang sedang mulai mengajakku berbincang serius. Aku memang sudah menjelaskan tentang maksud kedatangan bude Eti pada ayah dan bunda sehari setelahnya.

"Ngg... entahlah, Bun. Ayi masih bingung... "

"Ealaah. . Nduk. Kamu ini piye kan tinggal 2 minggu lagi... masa belum bisa nentuin sikap juga. Kemarin Bunda ketemu sama bude Eti. Bahasannya nggak jauh-jauh dari kamu... keliatannya dia emang sayang banget sama kamu.."

"Iyaa, Bun. Ayi tau... Tapi... "

"Dulu pas dilamar sama ponakan bu Ami yang dari Padang, bilangnya belum siap. Giliran sekarang, orang tuanya langsung yang datang kamunya malah bingung, dan Bunda yakin alasannya untuk kali ini pasti bukan belum siap ..."

Ya Allah. Bunda masih inget aja tentang lamaran lima tahun silam. "Yaelah, Bun. Kalo yang dulu itu kan Ayi baru lulus SMA. Belum kepikiran jadi istri." Sekalipun saat itu perbedaan usia yang sebenarnya menjadi alasan utamaku. Yah, usiaku masih 18 tahun, dilamar oleh lelaki berusia 5 tahun lebih tua dariku. Seusia pamannya di Sukabumi.

"Lah terus..  yang sekarang?"

Duileh. Bunda masih kekeuh aja menginterogasiku.

"Bude Eti jauh-jauh datang sari Solo hanya karena ingin menemuimu langsung loh, Nduk.."

Fiuh. "Justru itu, Bun. Ayi cuma nggak mau hanya karena Ayi menghargai maksud bude Eti datang. Lalu Ayi menerimanya begitu saja tanpa mempertimbangkan hal lain."

Entahlah... hanya sebatas itu yang bisa meluncur dari lisanku. Sebenarnya, aku yakin kalau Wawan pun bisa bertanggung jawab menjadi seorang suami. Hanya saja, aku ingin menikah bukan lantaran mencari suami yang dapat memenuhi sandang pangan dan papan. Tapi, aku ingin mencari seorang imam. Dan untuk Wawan, entah kenapa hatiku masih gamang.

***

Tok tok tok!! 
"Assalamu'alaikum," baru kali ini Aisy merasa sangat ingin bertemu dan menumpahkan segala keluh kesahnya pada mbak Ratna. Biasanya ia akan sabar menanti hingga tiba jadwalnya kajian rutin mingguan.

Belum sampai pada panggilan kedua, Aisy mendengar langkah kaki mendekat sebelum akhirnya pintu terbuka. Menyembulkan sosok ayu dengan jilbab biru donker plus kerudung warna pastelnya.

"Wa'alaikumussalam," sambutnya. MasyaAllah Ayi!"

Aisy hanya nyengir menanggapi keterkejutan empunya rumah.

"Eeeh, ayo duduk dulu sini." Ditariknya Aisy untuk duduk dikursi teras. "Ada apa nih? Nggak biasanya Ayi datang mendadak ke rumah mbak?" Tanyanya, sadar ada suatu hal yang akan disampaikan Aisy.

"Iyaa Mbak... ada hal yang mau Ayi bahas nih."

Mbak Ratna manggut-manggut. "Emm. Gitu ya... Kalau gitu kita bicara di toko aja yaa. Soalnya ini suamiku lagi ngisi kajian di dalem."

"Iyaa mbak..."

"Ya wes, tunggu bentar.. Mbak ambil tas sama izin mas Faris dlu."

***

"Kamu nggak bisa menghukum seseorang dari masa lalunya, Ayi sayang. Boleh jadi waktu telah mengubah sosok... siapa tadi... Wawan, iya Wawan menjadi lebih baik. Tapi bukan berarti mbak memberikan kecenderungan untuk memilihnya loh ya... Mbak hanya mau menegaskan padamu saja. Siapapun itu, jangan menghakimi karena masa lalunya."

Ini yang membuat Aisy nyaman ketika bicara dengan mbak Ratna. Mbak Ratna selalu bisa memberikan masukan yang 'ngena'.

"Iya mbak... Ayi paham. Hanya saja Ayi masih ragu, sementara Ayi sendiri bingung mau jawab apa ke ibunya Wawan..." suara Aisy melemah di ujung kalimatnya.

Kening Ayi berkerut melihat ekspresi Mbak Ratna yang justru tersenyum geli. "Iiiih... mbak Ratna kok malah senyum-senyum sih?" Rengeknya.

"Hihi. Maaf maaf... mbak baru sadar sesuatu aja..."

"Apaan, Mbak?"

"Sadar aja. Inget nggak, dulu kamu pernah cerita, di awal kuliah ada ikhwan labil yg ngirim biodata langsung ke kamu. Trus kamu balikin. Sekarang malah ada yang ortunya ngadep langsung ke kamu... Wah wah wah, kayaknya memang harus cepet di prosesin ya," candanya.

"Iiiih, mbak Ratna. Seriusan mbaaak...."

"Hihi. iyaa iya... abis kamunya majang muka tertekan banget tadi. Gini deh, sebenernya perkara hati ini nggak bisa sembarangan, nyari solusinya juga harus ke Yang bisa bolak balikin hati. Minta sama Allah, sempatkan untuk Istikhoroh, De. Karena hanya Allah yang paling tau apa yang pantas dan tidak untukmu. Gimana? Udah nyoba?"

"Udah mbak.... tapi entah kenapa kok rasanya masih ada yang mengganjal..."

"Hmmm... boleh jadi kamu belum benar-benar memasrahkan hati kamu saat itu..."

Pandangan Aisy merunduk.  Sepertinya apa yang barusan didengarnya benar.

***

Aisy POV

Duhai Allah. Lancarkanlah apa yang nanti keluar dari lisanku. Jagalah agar tak ada hati yang terluka ketika mendengarnya.
Sungguh ini sukar. Sungguh ini berat. Jika tanpa kekuatanMu. Jika aku tak berpasrah padaMu. Aku pastilah tiada mampu.

Sungguh, beruntai-untai doa telah ku ucapkan. Seperti sebuah mantra yang menguatkanku. Sebelum akhirnya sosok bude Eti datang. Kami duduk berhadapan di sebuah Rumah Makan yang tak jauh dari rumahku.

"Maaf bude... Ayi minta ketemunya mendadak..."

"Iyaa, Sayang. Nggak masalah... justru ibu nunggu-nunggu waktu ini."

Ah, Bude Eti paham aja maksud undanganku. "Bude Eti kapan balik ke Solonya?"

"Lusa insyaAllah. Pesawat malam."

"Mau Ayi antar?" Tawarku. Langkah awalku untuk mencairkan suasana sebelum rasa gugup membuatku beku.

"Eeeeh, ndak usah. Kan bude baliknya malam. Nggak bagus anak gadis keluar malam. Biar bude naik taksi aja..."

Aku ngangguk-ngangguk setuju. Benar juga.

"Oiya, jadi gimana? Ayi sudah punya jawaban? InsyaAllah bude terima apapun keputusan Ayi, bude nggak akan marah kok..."

Fiuuuh. Baiklah. Ungkapkan. Harus sekarang. Yah. Harus. "Emm.. sebelumnya Ayi minta maaf bude, bukan berarti Ayi nggak menghargai bude. Tapi.... Ayi sudah menyerahkan segala keputusan ke ayah. Jadi, bila kelak Wawan datang menghadap, ayahlah yang akan memberikan jawabannya. Sekali lagi maaf bude... "

Aku mengira, setelah aku mengeluarkan semua itu. Waktu sedang berhenti berputar. Tapi aku salah, karena ini hanya keheningan. Kulihat bude Eti hanya berusaha mencerna apa yang kusampaikan. Keningnya berkerut sebentar, lalu memudar.

"Iya... benar. Ayi nggak salah kok. Wawan memang sudah seharusnya datang menghadap ayahmu. Semoga ia tidak didahului yaa... jadi Ayi bisa jadi mantu tante." Kata terakhir bude berhasil membuat sisi-sisi bibirku terangkat.

"Makasih, Bude. Karena bude Eti baik banget sama Ayi..."

Bude Eti hanya tersenyum tulus. Rasanya ada bongkahan beban yang sebelumnya ada di kepalaku menguap tiba-tiba. Segala puji bagiMu Allah.

♡♡♡♡♡♡♡♡

Happy reading, Guys..... ヽ(´▽`)/

LOVE GUIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang