t i g a

20.3K 1.5K 19
                                    

"Kenapa, sih, yang suka kamu itu enggak cuma saya? Kenapa Tuhan juga jatuhin hati orang lain ke kamu. Kenapa juga kamu pakai jatuhin hati kamu ke orang yang bukan saya? Saya banyak mau, ya? Ya mau bagaimana lagi. Tuhan takdirkan begini, ya saya terima saja dengan senang hati. Tidak sepenuhnya senang, sih, saya hanya sedang berusaha membiasakan diri." —Hari ini, bersama kue red velvet kesukaanmu.

NADINE 'S POV

Café tempatku berdiam kini cukup ramai, mengingat ini akhir minggu. Kebanyakan pasangan sebaya denganku, mereka terlihat mengobrol ringan. Beberapa meja lain diisi sampai lima hingga enam orang, tampaknya satu kelompok bermain dan mereka begitu serius membicarakan sesuatu. Sedangkan aku, ditemani ponsel, headset, novel, dan sebuah laptop yang menjadi senjata penting untuk mengerjakan tugas. Aku menyudahi untuk memperhatikan sekitar, kembali ke layar laptop dan fokus untuk mengetikkan sesuatu di sana. Hari senin tugas ini akan dikumpul, dan aku tidak mau membuang waktu.

"Lo Nadine, kan?" Keseriusanku buyar seketika. Aku mendongak bermaksud untuk melihat siapa yang berbicara. Aku cukup terkejut, pasalnya tidak kenal siapa seseorang di depanku. Namun alih-alih menjawab pertanyaannya yang terkesan tidak sopan, aku lebih memilih untuk diam. "Lo nggak bisa ngomong?" Aku menghela napas panjang, seakan ingin memberitahu padanya bahwa aku sedang tidak ingin diganggu. Lagipula, pertanyaannya terasa semakin tidak waras. Memang apa haknya terhadap aku yang ingin menjawab atau tidak.

"Maaf, lo siapa?" Aku membalas tanpa minat. Raut wajah dan nada suaraku sudah sama saja, datar bagai triplek.

"Lo nggak tau gue?" kata perempuan itu histeris sendiri di depanku. "Please ya, gue ini kakak kelas lo, mustahil lo nggak tau gue."

"Tapi gue emang nggak tau lo siapa sampai akhirnya lo ngenalin diri dengan bilang lo kakak kelas gue." Aku menjawab dengan tenang walaupun hatiku tengah bergejolak. Aneh sekali rasanya. Padahal aku tidak pernah mencari masalah pada makhluk bertitel kakak kelas. Selain itu yang membuatku bingung, bagaimana bisa kakak kelas terhormat ini menemukanku di sini. Mengingat ini adalah café yang cukup jauh dari sekolah.

"Jauhin Azka," ucap perempuan ini akhirnya bak dewi yang memberi titah pada budak. Kalau ini poin permasalahan yang ingin ia bahas denganku, mohon maaf saja kalau aku tidak berminat sama sekali.

"Kenapa gue harus jauhin Aldric?" tanyaku dengan nada ringan. Kalau saja bagian di dalam diri dapat terlihat, mungkin kakak kelas aneh ini sudah dapat menemukan gejolak amarah dalam diriku. Setahun lebih ia menjalin pertemanan bersama Aldric, baru kali ini ada orang kurang waras yang memintanya menjauhi lelaki itu.

"Karna lo emang harus! Inget ya, nggak usah kegatelan, gue enek liat lo deketin Azka tiap hari. Apalagi dengerin lo manggil Azka pakai Aldric. Kenapa? Pengen dibilang spesial? Azka juga nggak akan peduli tentang panggilan lo buat dia." Kakak kelasku berbicara penuh emosi. Rasanya, aku ingin sekali menendang meja sampai terbalik untuk meluapkan emosi terhadap lucunya tingkah kakak kelasnya. Entah datang darimana, sekalinya bertatap muka dan berbicara, malah memerintahkanku yang tidak-tidak. Yang benar saja dia!

"Kalau Aldric nggak peduli tentang panggilan gue buat dia, kenapa lo harus peduli?" sentakku langsung dan berbicara lagi. "Jelas-jelas panggilan gue buat dia nggak ada ngaruhnya sedikit pun di hidup lo. Gue manggil dia Aldric nggak buat lo miskin, kan? Nggak buat jadwal salon lo jadi berantakan juga, kan? Lagipula, kalau lo mau deketin Aldric, lakuin pakai cara lo sendirilah, jangan jadi pengecut dengan nyuruh gue mundur. Percuma, lo ajak pasukan lo, gue nggak akan pernah jauhin Aldric."

"Gue tau, lo cuma mau manfaatin Azka doang, kan?" Kakak kelasku ini sepertinya masih belum puas. Tersudut dengan kalimat panjangku, ia malah mencari argumen lain untuk membuatku kembali terpojokkan. Benar-benar tidak ingin mengalah dan ia terus saja berbicara perihal hal-hal tidak benar tentangku. "Gue yakin, benda-benda yang ada di sini sekarang, pasti punya Azka semua. Ya, kecuali novel usang itu. Dasar nggak tau malu." Aku menahan helaan napas bersama dengan emosi yang sejak tadi meronta minta diletuskan. Tapi aku tidak melakukannya. Yang dilakukan kakak kelasku hanyalah sebagian kecil dari hinaan yang sering aku terima di sekolah. "Kok nggak ngelawan? Berarti yang gue bilang bener, kan? Lo cuma manfaatin Azka."

Between UsWhere stories live. Discover now