Dari ujung tangga, terlihat Mas Wahyu melambaikan tangan pada kami. Setahuku, Mas Wahyu mengambil shift malam, entah apa yang membuatnya datang sesore ini. Setelah menyapa kami bertiga, Mas Wahyu berjalan menuju area sofa. Ia duduk tepat dihadapan Adam.

"Eh, koncone Wahyu ternyata," ucap Mas Gala sambil melirik kearahku. Sepertinya ia belum puas meledekku. Kutandaskan es tehku kemudian berdiri untuk melakukan cleaning di area lorong yang telah ditinggalkan pengunjung. Daripada diledek Mas Gala, lebih baik aku bekerja.

"Lily, sini," panggil Mas Wahyu saat aku berjalan dari lorong kearah bar. "Kenapa, Mas?" Sungguh, suara yang keluar dari bibirku kedengaran pelan sekali. Ini semua karena Adam yang kini tengah memperhatikanku. "Tolong bikinin Doerno satu ya." Aku mengangguk pelan kemudian beranjak pergi. "Eh, tunggu bentar." Aku melirik Mas Wahyu, meminta penjelasan karena belum memperbolehkanku pergi. "Kenalan dulu sama temenku."

Kutatap lelaki itu dalam-dalam, ternyata ia memiliki mata sekelam malam. "Adam." Ia mengulurkan tangannya kepadaku. "Lily." Aku membalas jabatan tangannya. Darahku berdesir saat tangan kami bersentuhan. Perutku mendadak bergejolak. Kulepaskan jabatan tangan itu, namun jantungku tetap saja berdetak kencang.

"Cie, tangane ora bakal dicuci," bisik Mas Gala saat aku kembali ke bar. "Apa sih, Mas?" sergahku yang tak ingin kembali diledek. Mas Gala tak menanggapi ucapanku, hanya tertawa saja. Benar-benar menyebalkan.

Kutarik napas dalam-dalam, berusaha menetralkan degup jantungku. "Nih, minum dulu." Mas Gala mengansurkan segelas air putih dingin. Kuteguk air itu pelan-pelan. "Gitu aja grogi." Aku sukses terdesak air yang kuminum. "Hahahaa," Mas Gala kembali tertawa, namun ia segera berhenti begitu aku memberikan pelototan mata.

Kuracik minuman yang diminta Mas wahyu dengan cepat. Setelah selesai, kuminta Mas Donny yang mengantar. Tak sanggup rasanya kalau harus berdekatan dengan Adam lagi. Bisa-bisa jantungku sekarat.

Pukul tujuh malam shift-ku selesai. Kukeluarkan laptop yang kubawa, aku berencana mengerjakan tugas sebelum pulang. Mumpung ada wifi gratis.

Setengah jam kemudian tugasku rampung. Bersamaan dengan hal itu, Mas Adi, Mbak Dian, dan Mbak Ina yang shift malampun datang. Kumasukkan kembali laptop ke dalam tas. Aku berpamitan pada rekan-rekan kerjaku yang lain lalu menuruni tangga menuju parkiran.

"Pulang, Mbak?" tanya satpam toko buku lantai satu. "Iya, Pak."

"Pulang sama siapa, Ly?" Mas Wahyu yang telah kembali dari menukar uang di toko barang bekas menghampiriku. "Gak tau, Mas. Mau naik taksi aja." Aku memang tadi berangkat ke Djendelo Koffie diantar oleh temanku. Dan pulangnya, mau tak mau aku harus naik taksi. Jika menunggu rekan-rekanku yang lain pasti aku akan sampai di kos larut malam karena Djendelo Koffie tutup jam sebelas malam.

"Eh, Dam. Mau pulang?" Mas Wahyu menyapa temannya—Adam yang baru saja menuruni tangga. Saat aku memutuskan pulang tadi, Adam memang masih duduk dikursinya. Jantungku langsung berdegup tak tahu diri. Ternyata Adam memberikan pengaruh aneh pada jantungku.

"Mau nggak nganterin Lily? Kalian kan searah."

APA? PULANG DENGAN ADAM?

"Gak usah Mas Wahyu. Aku naik taksi aja, gak enak ngerepotin." Aku dengan segera menolak.

"Daripada naik taksi malem-malem sendirian, kan mending pulang sama Adam. Lebih aman." Mas Wahyu membantah ucapaku.

Jantungku yang gak aman, Mas.

"Gak usah ah, Mas. Aku gak mau ngerepotin." Aku masih berusaha menolak, siapa tahu berhasil.

"Saya gak ngerasa repot." Lelaki itu akhirnya bersuara juga. Aku kira ia hanya akan menjadi penonton perdebatanku dengan Mas Wahyu. Namun, sekali mengeluarkan suara, aku langsung skak mat.

"Nah, Adam udah setuju tuh. Kutinggal ke atas kalo gitu ya. Ati-ati di jalan. Titip Lily ya, Dam." Lelaki yang diajak bicara oleh Mas Wahyu hanya mengangguk.

Sekarang tinggal aku dan Adam saja di tempat parkir. "Jadi, kemana harus kuantar?" ucapnya sambil menatapku.

"Eh—" kuputuskan kontak mati diantara kami. "Glagahsari," sebutku pelan. Aku tak berani menatap matanya. "Aku naik taksi aja deh, takut ngerepotin."

"Tunggu disini." Ia meninggalkanku dan melangkah menuju sepeda motornya. Sepertinya ucapanku tadi tak terkabul. "Naiklah," ucapnya setelah berada didepanku.

Baiklah, lelaki dan motor sport-nya. Lalu bagaimana caranya supaya aku bisa menaiki sepeda motor yang tinggi ini? "Pegang tanganku, aku bantu naik." Seakan bisa mengerti kegelisahanku, ia memberikan tangannya untuk kupegang. Dengan canggung kuraih tangannya. Jantungku semakin menggila.

Beberapa pertokoan di Jalan Gejayan telah kami lewati. Cahaya lampu yang terbias ke jalan mengiringi perjalanan kami. Sayup-sayup dalam pikiranku, ada sebuah lagu yang mengalun. Lagu yang tadi kudengar saat bekerja.

Malam jangan berlalu

Jangan datang dulu terang

Telah lama kutunggu

Kuingin berdua denganmu

Biar pagi datang

Setelah aku memanggil terang

(Payung Teduh-Mari Bercerita)


Ah, apa yang sebenarnya kupikirkan? Tak ingin pagi datang? Lalu membiarkan jantungku semakin tak karuan?

Tiba-tiba ia mengerem mendadak, membuat tanganku yang semula berpegangan di belakang sepeda motor menjadi reflek memeluk pinggangnya.

"Ada kecelakaan di depan, kita cari jalan lain saja." Tersadar dengan keadaan yang tengah terjadi, cepat-cepat aku melepas tanganku dari pinggangnya. Sungguh, aku malu sekali. Untunglah, ia tak berkomentar apapun. Mungkin ia mengerti kalau tadi aku hanya reflek saja.

Gara-gara lagu tadi kini pikiranku jadi kacau. Oh malam, cepatlah berlalu!

***


Jadi, gimana part ini? Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar ya. Terima kasih :)

Kopi di DjendelaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang