Djendela 2

1.8K 179 33
                                    

Adakah yang membaca cerita ini?

____________________________________


Ketika aku memutuskan untuk bekerja part time, sebenarnya bukan karena aku tak punya kesibukan. Jadwal kuliahku lumayan padat, ditambah dengan keanggotaanku dalam sebuah organisasi jurnalistik di kampus membuatku kesulitan mengatur waktu. Kebosanan dan kejenuhanlah yang memaksaku mencari kesibukan baru. Sampai akhirnya aku menemukan bahwa Djendelo Koffie—tempat kerjaku sekarang sedang membuka lowongan untuk barista.

Aku tak punya pengalaman sebagai barista tentu saja, bahkan hal ini kukemukakan saat interview. Hanya saja, aku ini tipe orang yang punya semangat belajar. Mungkin itulah alasan mereka menerimaku.

Dalam satu bulan, biasanya aku mengambil enam belas shift—batas minimal yang telah ditetapkan untuk para barista. Lama waktu dalam setiap shift kira-kira empat setengah jam. Tidak seperti kemarin yang mengambil shift pertama, hari ini aku mengambil shift kedua. Hari ini jadwal kuliahku agak padat sehingga tak mungkin jam dua belas siang aku bisa sampai disini.

"Halo, Mas." Sapaku pada rekan kerja di shift pertama—Mas Donny. "Halo juga," balasnya.

Kuperhatikan sekeliling, kulihat kursi yang tersedia hampir penuh. "Rame ya, Mas?" Rekanku itu hanya mengangguk. Lalu mataku menangkap sosok yang kemarin kuperhatikan. "Mas yang itu udah lama?" Aku berbisik sambil menunjuk seorang lelaki yang tengah duduk—Adam..

"Udah dari pas aku buka," ucap Mas Donny. Aku hanya mengucapkan 'oh' lalu meletakkan tas punggungku di tempat biasa. Kualihkan fokus dari lelaki itu dan mulai mengecek stok bahan yang tersedia. Kuperiksa tempat penyimpanan bahan baku lalu menuliskan apa saja bahan baku yang menipis di papan, agar manager kafe mengetahuinya.

Bahuku ditepuk ringan oleh Mas Donny. "Tolong antar ke meja L1." Kuberikan jempolku sebagai tanda persetujuan. Kubawa nampan yang berisi Arimbi Djaipongan dan Bima Tjoekoer Koemis dengan satu tangan. Mengangkat nampan yang berisi menu dengan satu tangan lazim dilakukan oleh para barista disini, tentu saja keahlian ini diperoleh dengan latihan.

Sampai di area L1, kusajikan Arimbi Djaipongan—es krim vanilla dengan potongan stroberi dan astor dan Bima Tjoekoer Koemis—es krim tiga rasa yang bertabur pisang dan keju. "Makasih, Kak," ucap pelangganku yang masih memakai seragam SMA. "Sama-sama. Silakan dinikmati," balasku dengan ramah.

Kembali ke bar, kudapati Mas Donny yang tak lagi sendiri, sudah ada Mas Gala—manager kafe ini yang datang saat aku mengantar menu tadi.

"Halo Mas Gal," sapaku seperti biasa. "Oh, halo juga." Kami bertigapun terlibat dalam pembicaraan yang seru mengenai sebuah band beraliran SKA yang vokalisnya merupakan salah seorang barista disini—Mbak Wipti.

Mbak Wipti atau yang biasa kupanggil Mbak Wip memiliki sebuah band beraliran SKA yang bernama Sriplecit. Perempuan Jawa yang namanya lengkapnya juga sangat Jawa ini memiliki tubuh yang mungil. Meski begitu, suaranya tak perlu diragukan lagi.

Sesekali aku melirik kearah sofa, tempat dimana Adam duduk sambil membaca sebuah buku. Wajahnya yang datar membuatku penasaran, bahkan saat membaca buku pun ekspresinya tetap sama—datar. Seakan-akan ia tak punya ekspresi lain untuk ditunjukkan.

"Hayo, ngeliatin sopo koe?" Ah, ternyata ada yang sadar jika aku melirik Adam. Aku tersenyum malu sementara Mas Gala yang tadi bertanya kini tengah tertawa bersama Mas Donny. Aku malu sekali. Mukaku pasti sudah merah seperti kepiting rebus.

"Udah ah, Mas. Aku malu. Aku gak liatin siapa-siapa kok." Aku mengelak, berusaha membuat Mas Gala berhenti tertawa. Mas Gala bukannya berhenti tertawa malah semakin meledekku. "Naksir ya?" Kini Mas Donny pun ikut-ikutan. Para pengunjung kini tengah melihat kami yang gaduh sendiri. Mungkin mereka penasaran dengan apa yang sedang kami lakukan.

Kopi di DjendelaWhere stories live. Discover now