23.2: Exhausted

Mulai dari awal
                                    

Pemuda itu menoleh ke arahnya, memberikan tatapan tajam, yang sebenarnya ramah—kedua mata beriris lancip tersebut yang membuat tatapan singkat itu terkesan seram. Takumi balas menatap, meskipun sekilas. Pemuda itu ternyata Rira.

Suara derap sepatu bot mengagetkan mereka. Aktivitas desa sudah dimulai.

"Perintahkan pasukan agar ikut denganku. Sisakan sebagian untuk menjaga Charonte, bersama pasukan elf lainnya. Kau!"

"Terlaksana, Milord. Ada perintah lain?"

"... Jangan pernah membantah."

Andaikan Rira benar-benar seekor kucing, telinganya pasti sudah bergerak-gerak sejak tadi. Seseorang menyebut-nyebut tempat tinggalnya. Charonte. Kalau mereka harus melihat—atau membereskan—kelima teritori sebelum mengantarkan Takumi ke Efthralier, mungkin dia juga perlu menjenguk kastilnya.

"Bangun, Genma," gumam Rira. Diguncangkannya bahu pemuda itu pelan. Metsuki yang sedari tadi bergelung di sebelah Rira melompat. Takumi mengerti, kemudian membangunkan Ayumi dan pengendali-pengendali lain. Mereka mendengarkan setiap suara di balik bangunan-bangunan dengan seksama.

"Kembali ke markas. Ada orang-orang yang harus kutangkap di sini."

"Dan d-dibawa ke Arashi?"

Namun, Tabitha masih tertidur pulas. Wajah mengantuknya tertutup rambut silver berantakan, dengan tubuh terduduk setengah terbaring di lantai teras. Berhelai-helai bulu putih mencuat di setiap lipitan jubah hijaunya. Dan ada yang aneh di kulitnya.

Mengetahui apa yang harus dilakukan, Rira melepas sarung tangan hitamnya, kemudian menyentuhkan ujung telunjuknya ke pipi Tabitha. Tidak bereaksi. Aneh—apa tidur bisa menghambat pergerakan elektron dari kulit ke kulit? Seharusnya setruman listrik itu muncul.

"Gigit," saran Genma, yang langsung mendapat tatapan kaget dari Sakura dan Higina. 

Rira membuang muka. 

Tepat pada saat ia  bergerak, suara seseorang memberikan komando terdengar—bukan dari kejauhan.

"Kalian tidak dengar? Pasukan dibubarkan!"

Sepasukan orang berjubah cokelat hilir mudik di hadapan bangunan kosong tempat Takumi dan para pengendali elemen berteduh—beberapa orang dalam pasukan tersebut bahkan berbaju besi—memaksa mereka untuk bersembunyi di dalam bangunan tua tersebut dan mengintip dari balik jendela kusam. Tabitha masih tertidur pulas; napasnya yang biasa hangat mulai terasa dingin dan jarang-jarang. Genma menggendong gadis itu masuk ke dalam bangunan, kemudian menyelimutinya dengan jubah hijau miliknya sendiri.

"Kita harus tiba di markas sebelum matahari tinggi," bisik Higina pada mereka. "Atau kita bisa mencari tahu soal "Arashi", asalkan udara belum panas. Aku... belum minum dari kemarin," gadis itu merengut sesaat, menelan ludah.

"Tidak bisa. T-Tabitha masih tidur," cegah Ayumi. "A-atau pingsan."

Mereka menemukan lebam-lebam di tengkuk Tabitha yang sebelumnya tidak ada. Pipinya agak bengkak. Ada sobekan kulit berdarah yang tertutup poni. Seolah seseorang baru saja menghajar wajah dan memukul dahi gadis itu kuat-kuat.

"Sabotase. Ada yang menyadari kehadiran kita, rupanya," kata Genma pendek. "Dan aku tidak bercanda, Rira—gigit. Cukup kuat untuk membangunkan seseorang, tapi jangan lukai dia. Kita harus buru-buru."

Rira mendelik ke arahnya. Setengah marah. "Kenapa bukan kau saja, Idi—hmm?"

Jawabannya ternyata sederhana. "Siapa tahu listrikmu bisa sekalian membangunkan dia," tukas Higina. "Gigitlah."

Gigit. Cara paling buruk dalam membangunkan seseorang yang pingsan ketika penawar tidak ada di tangan. Mitos ini berdasarkan pengalaman pengendali elemen pertama; bahwa air liur seseorang bisa menjadi penawar racun bagi orang lain. Hanya ketika mereka tidak punya pilihan. Rira merenggut tangan Tabitha, terkejut karena tidak ada rasa sakit yang menyambutnya, kemudian sang pangeran mencegahnya.

"Jangan di tangan, apalagi ujung jari. Tangan banyak bersentuhan dengan benda lain dan tidak bersih," jelas pangeran yang selama lima tahun mempelajari ilmu biologi manusia. Takumi menelan ludah mendengar perkataannya sendiri. Mirip suara Kenta-sama kalau lagi mengajar di depan kelas. "Cari tempat lain."

Jalanan di depan bangunan tua berjendela pecah-pecah dan berlantai dedaunan itu semakin ramai saja. Rira tahu bahwa mereka tidak punya banyak waktu.

Sial. Dia benci membayangkan apa yang harus dilakukannya.

Dan waktu yang tinggal sedikit itu pun menguap ketika sang pemimpin pasukan menangkap bayangan orang-orang berjubah hijau di balik jendela.

***

"Seorang ksatria murahan, nona peri yang sombong, perempuan kecil tanpa tulang belakang, nyonya bawah tanah, sang putri tidur dan—astaga, penjaga perpustakaan tanpa sayap kiri!" Seseorang menyergap tempat persembunyiannya secara tiba-tiba, dan hal pertama yang dilakukan para pengendali elemen adalah merapatkan jubah mereka sekaligus berusaha sebisa mungkin agar tidak kaget. "Kalian sudah kembali, ternyata. Hei, siapa orang lain ini?"

Pria ini memakai pakaian yang terbuat dari linen mewah dan jubah cokelat bercorak sulur tanaman. Perisainya mengilat, berlambang kerajaan, bersanding dengan pedang bertahtakan rubi yang seolah memantulkan cahaya merah ke lantai. Melihat lambang kerajaan tersebut, Higina menyipit. Lambang itu sudah dimodifikasi.

"Beritahu raja kalian; kami sudah kembali," kata Rira tenang, tidak menghiraukan ejekan sang pria. Dan—"

"Mereka tidak menemukan sang pangeran, tapi mereka datang untuk mengklaim kelima teritori kembali, Tuan," potong Takumi cepat-cepat.

Kelima pengendali elemen terkejut. Tidakkah sang pangeran berpihak kepada mereka?

Pria itu tersenyum sambil mengangguk-angguk paham. "Aku mengerti. Hmm, hmm. Kasihan sekali kalian." Suaranya kembali terdengar mengejek. "Tidak apa-apa, anak muda. Aku orang baik, sungguh. Semua ini karena... Arashi, mengerti, 'kan. Tenang saja." Dia menoleh ke belakang, dan seketika itu juga berteriak keras. "Pasukan! Pengawal! Antarkan enam orang yang manis-manis ini ke hadapan Arashi!"

"Bagaimana kau tahu kami adalah pengendali elemen?" tanya Sakura penuh selidik, setengah berteriak; sementara para prajurit mulai berdatangan. Ia melonggarkan cengkeraman pada jubah hijaunya dan mengangkat tubuhnya dari lantai, maju mendekati pria tersebut. "Kami bahkan tidak pernah melihatmu sebelumnya."

Senyum yang sebelumnya menempel di wajah pria itu menghilang.

"Aku melihat kalian di Wonder Lea. Menyelamatkan berandalan kecil... menangani masalah patung raksasa... melihat kalian memakai jubah hijau itu dan berharap identitas kalian tidak diketahui. Mengikuti kalian sampai ke perbatasan Gaelea dan, secara tidak sengaja, terlibat perkelahian dengan seorang gadis pengantuk yang selalu mencurigai semua orang. Bagaimana?"

Pria itu menunjukkan sesuatu di kepalan tangannya. Segenggam batu berujung tajam, masih bernoda darah.

"Kau membuatnya hampir mati!" teriak Sakura histeris. Dengan sigap, dua orang prajurit meringkusnya dan membawanya keluar, kemudian dua orang lagi menangkap Higina, sisanya menangkap yang lainnya. Pria itu hanya menyisakan dua orang dan satu kucing di dalam bangunan tua itu. Selebihnya dibawa pergi oleh pasukan berjubah cokelat dan pemimpin mereka yang sinting. Tubuh Tabitha dilemparkan begitu saja kepada Takumi.

"Satu pertanyaan lagi, Nak. Siapa kau?" tanya pria itu, sebelum menutup pintu reyot yang sebenarnya tidak pantas disebut pintu lagi—setengah bagian atasnya sudah hancur dimakan usia.

Takumi gelagapan. Ia berharap mati-matian agar rambut teal-nya tidak terlihat dibalik jubah hijaunya. "Pelayan para pengendali elemen yang paling setia, Tuan."

"Oh. Bekerja pada sekumpulan anak muda, hah? Jaga nyonyamu itu, ya. Jangan sampai kucing rakus itu memakannya." Dan dengan begitu, dia membanting pintu di belakangnya sampai tertutup. Takumi memerhatikan dari balik jendela—Higina yang meringis setelah sayap kulitnya dilukai, tidak bisa melawan ketika para prajurit meringkusnya pergi, kecuali menggigit bibir menahan sakit. Semua pengendali yang dibawa pergi, sayapnya ditusuk dengan pasak tulang. Takumi menelan ludah.

"Ternyata tidak semudah yang kukira."

ElementbenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang