12. Luka yang Kembali Terbuka

Start from the beginning
                                    

"Karena aku nggak bahagia. Aku sudah bilang padamu dulu saat aku minta kita bercerai. Tidak ada alasan lain, aku hanya ingin bahagia Rey dan selama hidup denganmu aku tidak merasakan itu."

"Omong kosong!"

"Tapi itulah kenyataannya. Kita tidak bahagia, kita mengetahuinya dengan pasti. Setelah anak kita pergi," Aku menghela nafas, membicarakan kepergiannya tidak pernah mudah, "kita memang mencoba memperbaiki segalanya. Tapi tidak berhasil."

"Kamu pikir aku akan percaya alasan seperti itu. Hari-hari terakhir sebelum kamu pergi, wajahmu terlihat bahagia, kamu banyak tersenyum. Kita banyak menghabiskan waktu bersama. Kita..."

"Apa yang kamu inginkan, Rey?" suaraku mulai bergetar.

"Jawaban. Alasan kepergianmu?"

"Aku tidak mau membicarakannya."

"Kita harus membicarakannya, sialan!"

"Ma ... Mama..." panggilan malas terdengar dari arah tangga, Si Kembar sudah bangun. Dari cara memanggilnya aku langsung tahu itu Luys. Luys akan memanggilku lembut, Ma... Mama. Luys hanya memanggilku dua kali, Sedang Luce biasanya selalu memanggilku lebih dari dua kali dan buru-buru seperti Ma... Ma.. Ma..

"Di dapur sayang" teriakku, aku berdeham saat suaraku terdengar serak dan parau.

 Luys masuk ke dapur tersenyum kecil padaku, masih dengan mata yang sesekali terpejam. Jalannya masih sempoyongan. Dia pasti masih mengantuk. Saat melihatku sedang duduk, dia berjalan menghampiriku dan langsung naik duduk dipangkuanku.

" Anak mama kok bangunnya pagi banget, belum ada jam enam lho, hebat." Aku menciumi pipinya dan merapikan rambutnya yang berantakan"

Luys menyembunyikan wajahnya di dadaku, lalu berkata dengan suara lirih "Aku mimpi papa pergi lagi," matanya melirik Rey takut.

Rey tersenyum lebar. "Papa masih di sini, Papa janji nggak akan pergi lagi." Ucap Rey lembut. lalu bangun menghampiri kami, meraih Luys dari pangkuanku dan menggendongnya.

Rey melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan tadi. Dia menciumi pipi Luys gemas. "Ayo kita bangunin Luce" ajaknya kemudian.

"Papa kok bisa langsung bedain aku sama Luce sih, daddy aja sering salah" pertanyaan polos Luys membuatku dan Rey sama-sama terpaku. Memang sedikit sulit membedakan mereka, apalagi Rey belum lama bertemu mereka.

"Papa cuma tahu aja, sekali lihat papa bisa langsung bedain."

"Pasti papa perhatiin kalau aku lagi ngomong?"

Kening Rey berkerut-kerut dalam "Kenapa memangnya?"

"Kata mama aku lebih mirip Papa, soalnya kalau ngomong alisku yang sebelah kanan suka naik."

Malu, itulah yang aku rasakan. Dari begitu banyak hal yang aku sampaikan padanya, kenapa harus hal itu yang Luys ingat.

"Aku sama Luce kan nggak pernah lihat muka Papa, soalnya Mama bilang Mama nggak punya foto Papa. Kata mama kalau kangen Papa, ngaca aja soalnya kan muka kita mirip." Rey mengikuti ucapan Luys dengan penuh perhatian. Setiap kata yang keluar dari mulut Luys membuat wajah Rey berbinar-binar senang.

"Kalau ngomong memang alis kamu yang sebelah kanan suka naik. Apa aku seperti itu juga?" Tiba-tiba Rey menoleh padaku.

"Hmm..."
"Aku baru tahu. Belum pernah ada yang bilang."

Rey membuatku salah tingkah, caranya menatapku kali ini berbeda. Entahlah, seperti ada sesuatu yang ingin dia bagi denganku. Aku yang lebih dulu memutuskan perang saling tatap kami. Tatapannya membuatku tidak tenang. Sama seperti dulu, Rey memang bisa dengan mudah mempengaruhiku.

ReconciliationWhere stories live. Discover now