PROLOG (II)

97 6 0
                                        

"Rey hapal setiap tempat di rumah sakit ini ya," kata Riski.

Dirinya dibantu Rey berkeliling RS mencari ayahnya.

"Iya. Itu karena aku sering kesini nemenin ibuku bekerja. Dia perawat di rumah sakit ini," ujar Rey sambil menyimpulkan seulas senyum manis pada wajah tampannya.

Riski menatap Rey yg tengah tersenyum sesaat. Tiba-tiba saja kata ganteng ia sematkan pada Rey dalam pikirannya.

Kemudian, Riski membuyarkan pikirannya itu dan memalingkan wajahnya ke depan. Kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling mencari sosok ayahnya.

"Papa!" Seru Riski tiba-tiba. Telunjuknya naik dan menunjuk lurus pria berbaju abu-abu yang sedang menuju ke parkiran. "Itu papa."

Rey ikut menoleh ke arah yang ditunjuknya. "Kayaknya papamu mau pulang deh. Cepat kesana!"

"A, bener," sadar riski. "Aku pergi dulu. ByeBye Rey!"

Riski berlari secepatnya setelah melambaikan tangannya sebentar pada Rey.

Ia juga terus memanggil ayahnya sekeras yg ia bisa-sesuai dengan kondisinya saat ini- dan beruntung ayahnya mendengarnya dan berbalik.

"Riski. Kamu darimana saja?! Capek Papa cariin. Untung tidak Papa tinggalin," omel Pak Adi, ayah Riski ketika Riski telah berada di hadapannya.

Ayah Riski seorang enterpreneur dan berusia 35 tahun.

Banyak yang mengatakan wajah Riski dominan mirip dengan ayahnya, yakni pada bagian mata dan hidung. Mata Riski yg sedikit bulat dan hidungnya yg sedang--tidak mancung, tdk pesek, diwarisi dari ayahnya.

"Maaf, pa. Riski tadi takut."

"Ya sudah, kalau gitu besok saja cabut giginya."

"Eh, jangan pa! Sekarang saja."

"Kan, tadi kamu bilang kamu takut."

"Iya. Tapi sekarang Riski sudah berani," ujar Riski dengan semangat.

Pak Adi terheran tp ia juga merasa lega melihat anak tunggalnya itu sudah tidak takut lagi. Digandengnya tangan Riski kembali ke ruang dokter gigi.

"Kenapa di dagumu ada plester luka? Kamu habis jatuh, nak?" tanya ayahnya sambil berjalan.

"Tidak,pa. Ini-" Riski berpikir sejenak, lalu melanjutkan, "ini dari temanku. Katanya kalau aku pakai plester ini, gigiku nanti tidak sakit kalau dicabut."

"Oh ya?"

Riski mengangguk sambil bergumam kecil.

Sementara Rey, dari kejauhan menatap Riski yang berjalan bersama ayahnya ke ruang dokter gigi. Ia merasa lega dan juga memutuskan kembali ke kamarnya.

*****

Riski duduk di sebelah ayahnya, menunggu namanya di panggil apoteker rumah sakit untuk pengambilan obatnya.

Ia merasa aneh setelah satu gigi atasnya dicabut. Tapi, ia juga merasa lega. Karena akhirnya, ia bisa tidur dengan nyenyak malam nanti.

Tangan Riski tak sengaja menyentuh plester saat ia berniat meraba sekitaran mulutnya.

Ia lalu melepaskan plester itu dengan hati-hati lalu memandanginya.

Riski sedikit tersenyum menatap hansaplast itu yg ternyata bergambar mickey mouse.

Lucu, pikirnya.

Teringat Rey, Riski tiba-tiba saja berdiri dari tempat duduknya.

Ayahnya yg tengah sibuk dengan ponselnya terkesiap dan menatapnya heran. "Kenapa,Ki?"

Riski menaikkan kedua telapak tangannya di depan ayahnya-memberi isyarat untuk menunggunya.

Karena susah untuk bicara, Riski terpaksa memakai bahasa isyarat dengan tangannya.

Setelah ayahnya mengangguk mengerti, Riski kemudian menghampiri ruang dokter tempat giginya dicabut tadi dan meminjam gunting. Setelah itu, ia berlari kembali ke kamar Rey.

Sesekali ia berhenti, dan meludahkan darah dari gusinya ke tempat sampah yang ada di sekitar lorong rumah sakit.

Setibanya disana, ia langsung membuka pintu kamar Rey dan melihat Rey sedang berbaring di atas ranjangnya.

Riski mendekatinya dan menatap Rey sedang tertidur pulas dari dekat.

Tak ingin mengganggu, Riski pun menempelkan potongan plester tadi di tangan Rey dengan hati-hati.

Tadi, ia minta tolong pada dokter untuk memotong plester lukanya menjadi dua. Karena satunya ingin diberikan pada Rey.

Riski memandangi wajah Rey yang masih tertidur dengan nyenyaknya. Ia tersenyum.

Cepat sembuh, Rey.

***
Jangan jadi pembaca gelap!

Budayakan VOTE yah

@hani_zain
16Juni2017

Because Of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang