"Tapi kenapa lo nggak bilang? Atau lo nyuruh gue buat jauhin dia! Jangan bikin kayak gini." Stevi menunduk, dia memundurkan langkahnya.

"Semuanya udah terlanjur Stev, lo bikin gue jadi orang jahat sekarang."

"Jangan sangkutin Stevi, ini ide gila lo!" Bentak Vero, dia menarik lengan Stevi untuk berada di sampingnya.

"Iya, ide gila karena gue terlalu gila mencintai dia, tapi dia masih ambigu sama perasaannya sendiri." Seza berteriak, dia menunjuk Stevi yang menunduk mencoba menahan tangisnya.

Air mata yang sudah tak tertahan akhirnya jatuh juga, entah datang dari sudut mana Ghina memeluk tubuh gadis itu. Dia tidak tahu ambigu seperti apa yang dimaksud Seza. Karena selama ini, yang Stevi tahu dia mencintai Seza dan dia menyayangi Nata sebagai seorang sahabat. Ntah mengapa Seza malah menganggapnya lain.

"Gue harap, lo nemuin titik terang siapa orang yang pantas untuk terakhir lo singgahi." Ucap Seza, setelah itu dia berjalan menjauh memecah kerumunan.

Seza tidak berharap lebih, dia masih mencintai Stevi. Namun dia tidak bisa berbuat banyak. Saat ini saja, dia sudah menjadi pria terjahat yang hampir membunuh seseorang. Padahal waktu itu Seza sudah menunggu Stevi di rumahnya tapi gadis itu tak muncul di telpon nomornya selalu sibuk , dia memutuskan untuk mencari Stevi. Sialnya, dia malah kemasukan setan saat melihat pacarnya pulang dengan Nata. Alih-alih ingin menyerempet motor itu, tapi kecelakaan besar malah terjadi.

••

Stevi sudah pulang beberapa menit yang lalu. Semua perkataan Seza masih terngiang di kepalanya.

"Udah. Nggak usah mikirin Seza." Ucap Vero, pria itu sedang berada dirumah Stevi.

Stevi menggeleng, "dia bener. Dia jadi jahat karena gue." Ucapnya.

Dan Kenzo pun sama, sambungnya dalam hati.

Apa perlakuan nya pada dua orang itu sudah berlebihan dan membuat mereka tersakiti? Stevi tidak mengerti. Bagaimana dia bisa mengerti sedangkan mereka tidak pernah menjelaskan apapun.

"Oh ya kok lo bisa tahu? Nyari bukti dimana?" Tanya Stevi heran. Vero bisa tahu darimana jika yang menabraknya dengan Nata adalah Seza.

Vero menaik turunkan alisnya, "detektif Vero! Selalu siap sedia."

Pernyataannya membuat Stevi tertawa, pasalnya Vero yang menemukan bukti awal bahwa Lena selingkuh dan sekarang dia menemukan bukti yang cukup besar dengan mengatakan bahwa Seza adalah dalang dari kecelakaannya.

"Ahh!!" Stevi merancau, dia mengacak-acak rambutnya kesal.

"Kenapa?" Tanya Vero melihat perubahan mood Stevi. Apa semua cewek bisa berubah mood dalam hitungan detik?

"Gue mau kerumah sakit," jawabnya

Vero menengok pada arlojinya yang tertempel.

"Masih belum jam besuk. Jam besuknya sekitar dua jam lagi."

Stevi memohon kepada Vero, akhirnya pria itu mengalah dan mereka bersiap pergi ke rumah sakit.

Setelah menunggu dengan makan di kantin rumah sakit, jam besuk mulai dibuka. Stevi dan Vero kembali berjalan menuju ruangan Nata dirawat.

"Eh kalian, mau masuk juga? Di dalam ada uncle nya Nata."

Stevi tersenyum dan menggeleng, "Stevi akhiran aja Bu."

Menunggu cukup lama, akhirnya pria berperawakan tinggi yang Stevi yakini adalah Paman Nata keluar dari ruangan, dia berbincang dengan Hana.

"Silahkan masuk. Terima kasih karena udah tiap hari jenguk Nata." Ucap Hana lebih kepada Stevi.

"Iya Bu." Stevi menarik lengan Vero untuk ikut bersama dengannya ke dalam.

"Hallo Nat!" Sapa Stevi, dia tidak akan pernah bosen mengatakan ini sampai Nata menjawab sapaannya.

"Aku mau belajar Kimia nih," ucapnya sembari mengambil buku dari dalam tasnya.

"Gue balik duluan gapapa? Udah malem." Vero menampakkan giginya

"Ya ya ya, hati-hati dijalan." Ucap Stevi.

Vero mengangguk, dia berjalan menuju pintu dan menutupnya kembali dengan pelan.

"Oh ya, Vero bilang kecelakaan kita ini karena Seza. Awalnya aku nggak percaya, tapi kenapa dia malah ngomong jujur ke aku? Dia bilang dia nggak suka kamu deket sama aku, padahal dulu dia nggak pernah masalahin ini."

"Aku nyesel, orang yang selama ini baik sama aku ternyata lebih kejam dari orang yang terang-terangan nggak suka sama aku."

Dia berhenti berceloteh, disandarkannya kepala pada ranjang disamping tangan kiri Nata.

Dia mengantuk, hari sudah cukup larut. Tadi, Vero menemaninya dirumah cukup lama sebelum mereka ke rumah sakit dan menjenguk Nata.

Sedikit terkejut, karena sebuah tangan besar hinggap membelai kepalanya. Dia mendongak mendapati Nata yang tersenyum kearahnya.

"Kamu udah sadar?" Tanya Stevi, pria itu mengangguk dan tersenyum kecil.

"Mau aku panggilkan dokter? Apa ada yang sakit?" Tanya Stevi antusias, pria itu menggeleng.

"Aku nggak butuh apapun. Maaf karena sempat mengecewakan mu, maaf karena aku nggak bisa nepatin janji aku." Jawabnya dengan suara lemah.

Stevi mengangguk, dia menggenggam tangan itu. "Aku nggak butuh maaf dari kamu, yang penting kamu segera pulih."

Nata tersenyum, dia membelai pelan rambut Stevi, "silahkan tidur lagi, aku pun akan tidur. Sleep tight Vi."

Bagai terkena mantra, Stevi kembali pada posisi semula. Tak berapa lama, suara pintu terbuka Stevi terjaga dari tidurnya.

"Apa ada peningkatan pada Nata? " Tanya Hana. Dia bersama seorang dokter dan dua perawat untuk memeriksa kondisi Nata.

Stevi mengangguk, dia menatap lekat Nata. "Dia tadi bangun Bu." Ucapnya senang.

Dokter mengecek semua kondisi Nata.

"Alat vitalnya tetap stabil. Tetapi, belum ada perubahan dari pasien." ucapnya.

"Dokter pasti salah nih. Tadi dia bangun ngobrol sama aku." Bantah Stevi, karena tadi memang dirinya mengobrol bersama Nata.

Dokter tersenyum maklum, dia mengusap puncak kepala Stevi.

"Itu mungkin mimpi kamu, tapi dokter harap mimpi itu adalah salah satu petunjuk kalau Nata akan segera sadar." Dokter berkata menenangkan.

Walaupun sedikit agak tidak percaya, Stevi mengangguk. Dia menatap lekat wajah damai Nata.

Jadi tadi? Cuma mimpi? Cih, kau jahat sekali Nat!

°°

Publish 20 Mei 2016

Awareness: Is (not) The EndingWhere stories live. Discover now