Chapter 5

59 2 5
                                    



Pernyataan cinta itu begitu saja. Meski ku pikir sedikit menggebu-gebu tapi setidaknya berhasil membuat tubuhku melemah dan jantungku berdetak kencang. Seusai dari sana, ia memaksaku menaiki mobilnya dan mengajakku mengelilingi California, hingga tak kami rasakan bahwa kami telah berkeliling sampai larut. "Kau mau piknik?" tanyanya padaku, yang lelah dan menyandarkan tubuhku di jok depan, tepat di sampingnya, dan menatap jalan dengan tanpa antusias. "Hmm?" dan ia mengulangi pertanyaannya. "Ya, aku mau." Kembali ku sandarkan tubuhku dan menatap jalan, sedikit tak menyadari bahwa aku mengabaikannya.

Lalu tanpa kata-kata, Sean menyentuh kepalaku dan membelai rambutku pelan. "Apa yang kau pikirkan, sayang? Bolehkah aku tau?" Aku menoleh padanya, dan perasaan menyentak dalam hatiku membuatku ingin menangis sekarang juga, mendapati wajah tampan dan hangat yang kini ada di sebelahku, membelai kepalaku dan menyetir untukku. Aku.. apa yang harus ku lakukan agar lelaki ini bisa mengerti? Apa yang seharusnya ku katakan? Kelakuan anehku?

Aku berusaha keras agar aku dapat mengendalikan diriku di depan Sean. Aku harus bagaimana kalau kelakuan anehku datang begitu saja dan membuatku berubah seperti monster? Aku menghindari menggigit bibir ketika menahan tangis, aku takut tak dapat mengendalikannya. Alhasil, aku tersenyum pada Sean, dan mengerjapkan mata berkali-kali, mengenyahkan kaca-kaca dalam kedua mataku.

"Aku mau piknik, Sean. Tapi denganmu."

"Pastinya. Memang dengan siapa lagi kalau bukan aku? lelaki lain, heh?"

Aku tersenyum lagi, dan sedetik kemudian, Sean menciumku. Melumat bibirku cepat, membuatku merasakan kelembutan bibirnya. "Kau harus fokus, Sean. Kau sedang menyetir." "Bibirmu memerah, Rachel. Kau yang salah. Aku tak tahan melihat senyum cantikmu itu. Aku tak tahan menatap matamu itu, dan aku tak tahan memperhatikan bibir manismu itu." Kata-katanya membuat wajahku memerah, semerah kepiting rebus. "Dasar mesum. Kau sudah menciumku berkali-kali seharian ini, Sean." Bantahku. "Ya yaa yaa dan kau harus tau bahwa aku menginginkan lebih."

Sudah cukup, Sean. Kata-kata itu cukup vulgar untuk gadis sepertiku. Kata-kata itu sudah cukup membuatku merasakan gelenyar aneh, merambat dalam tubuhku, sampai pada bagian bawah dari diriku memanas disana. Batinku.

"Sean, apa kau tau kenapa toko kopi tadi siang dinamakan Wooden Cafe?" aku berusaha mengalihkan pembicaraan secepat mungkin, menghindari ketegangan seksual yang mungkin saja akan terjadi di antara kami. Sean menatapku cepat, mengerutkan kedua alisnya tanda tak mengerti, dan kemudian fokus kembali pada kemudinya.

"Dasar bodoh. Kau tak tau? Dan kau juga tak berusaha menebak atau apalah..?" "Tidak sayang. Memangnya apa?"

"Itu karena.. oh come on Sean, apa kau tak memperhatikan di sekitar kita tadi di penuhi dengan peralatan dan aksesoris yang terbuat dari kayu?"

"Oh ya? Kenapa aku tak begitu memperhatikan?"

"Ah sudah ku duga. Lelaki sepertimu pasti menyepelekan hal-hal yang ku sukai seperti itu. Aku tau dan aku menyesal, memilih tempat remaja seperti itu. Mana mungkin kau akan menyukainya? Dasar gadis bodoh."

Kenapa aku sangat marah ketika mengetahui hal ini? Lelaki itu sedikit meremehkan hal-hal kecil yang romantis di mataku. Toko kopi itu adalah toko kopi favoritku sepanjang masa. Semua perabotan dan aksesorisnya terbuat dari kayu. Gelas, kursi dan meja pastinya, bahkan baju pelayan disana di desain dengan model yang persis dan sangat mirip seperti kayu. Dan Sean tidak memperhatikannya? Aku hanya ingin dia mengatakan, "Rachel ini romantis dan kita seperti sepasang remaja yang jatuh cinta." Hanya itu sebenarnya.

Aku mengerucutkan bibirku dan memalingkan wajahku dari Sean. Biar kalau saja dia berpikir ini terlalu kekanak-kanakan.

"Kau marah ya? Rachel ayolah, bukan itu yang ku maksud. Maksudku.. tepatnya aku hanya terlalu memperhatikanmu tadi, dan tidak sempat memperhatikan yang lain. Memang kau tak marah jika aku memperhatikan yang lain selainmu?"

My California QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang