18. Langit Jingga

Mulai dari awal
                                    

Seza mengekori Fina yang berjalan menuju ruang makan, saat tahu siapa yang datang Stevo menatap horor Seza dan Tomi secara bergantian. Tomi memang sedikit tidak menyukai Seza, entah hal apa yang membuatnya tidak menyukai seorang yang nyaris sempurna itu.

"Ayo duduk Za, kita makan bareng."

Seza tersenyum canggung, ia mulai duduk di samping kiri Stevi. Karena samping kanannya sudah ada Fina.

"Tahu nggak ma, pa? Seza ternyata bisa masak loh." Goda Stevi, ia menyikut lengan Seza yang memasang wajah canggung itu.

"Baik banget kan dia sampai pagi-pagi dateng ke rumah terus buatin masakan buat aku." Cerocos Stevi disela-sela makannya. Sengaja Stevi melakukan ini, agar Tomi bisa melihat sisi baik Seza yang ia acuhkan itu. Stevi ingin menunjukkan bahwa dia bisa mendapatkan sendiri pendamping yang pantas untuknya.

"Emangnya kamu yang nggak bisa masak!" Ejek Tomi. Sebenarnya bukan Stevi yang tidak bisa memasak, hanya Stevi tidak punya waktu untuk belajar memasak.

Stevi mendengus kesal. Dan dia lagi ujung-ujungnya yang kena.

Acara makan selesai, Stevi meneguk air mineralnya dan berdiri disusul oleh Seza.

"Kita berangkat dulu ya, " pamit Stevi. Mereka menyalami Tomi dan Fina secara bergantian.

••

Di sekolah, suasana sama sekali tidak membaik. Elta yang kini menjaga jarak dari Ghina dan Stevi serta lebih memilih bergaul dengan teman sesama pengurus Osis. Saat ini, di kelas tidak ada guru yang mengajar Stevi tengah berkutat di buku Kimianya.

"Besok pemilihan antar anak di klub." Stevi berbicara pada Ghina.

Ghina ikut membuka buku Kimia yang tebal itu. Hanya membolak-balikkan saja, karena dia tidak mengerti tentang asam basa dan kawan-kawannya.

"Sukses ya say," supportnya.

Omongan Ghina membuat Stevi mendelik heran, "kok rasa aneh ya lo ngomong kayak gitu." Ucapnya kemudian tertawa.

Pintu ruang kelas terbuka, seperti ada komando semua siswa yang berada didalam langsung hening. Ternyata Seza dan Elta lah yang masuk ke kelas.

Stevi menutup bukunya dengan cukup keras, membuat sebagian orang menoleh begitu pula gadis yang sedang berdiri di depan dia menyunggingkan senyum evilnya.

"Selamat pagi, maaf mengganggu. Kami dari pengurus Osis mengumumkan bahwa satu bulan lagi akan diadakan PORAK," ucap Seza.

"Setiap kelas wajib mengikuti minimal satu cabang olahraga, disini cabang olahraganya yaitu basket, futsal, voli, badminton, dan catur. Ada yang ditanyakan?" Ucap Elta melanjutkan perkataan Seza.

Stevi dan Ghina bersamaan memutar bola matanya ketika Elta menebar senyum pada seisi kelas,sedangkan anak-anak kelas spontan menjadi berbisik bisik mengenai program tahunan yang diselenggarakan Osis ini.

"Baik, kalau tidak ada yang ditanyakan. Untuk pendaftarannya bisa hubungi ketua pelaksana yaitu Diana kelas sebelas IPS dua." Ucap Seza.

"Kami permisi. Selamat pagi." Ucap Elta, ia berjalan keluar dari kelas itu disusul oleh Seza.

Stevi menjatuhkan kepalanya di meja.

"Cuma partner Stev." Ghina menenangkan sahabatnya itu. Dia mengusap bahu Stevi.

"Partner sesama osis banyak kenapa harus bareng Elta sih," protes Stevi tidak terima.

Dicubitnya tangan Stevi membuat gadis itu meringis pelan, "lo cemburuan jadinya." Kekeh Ghina.

Helaan napas panjang terdengar hanya saja tidak ada jawaban lagi dari Stevi. Cemburu tanda sayang kan? Gue cemburu berarti gue takut kehilangan.

••

Stevi sedang mengerjakan latihan Kimianya untuk pemilihan besok. Ditemani Seza, mereka berada di cafe dekat sekolahnya.

"Maaf ya aku nggak sepintar kamu di pelajaran Kimia."

Stevi terkekeh dan mengetuk kepala Seza dengan pensil yang di pegangnya. "Gapapa, manusia nggak ada yang sempurna kan?"

Seza mengangguk, ia membuka buku Kimia didepannya.

"Nata juga ikut? Dari tahun kemarin dia optimis banget dapet juara di Olimpiade." Ucapnya.

Stevi berhenti mencoret bukunya, ia merogoh saku celana dan melihat notifikasi masuk.

"Kenapa?" tanya Seza.

Setelah menyimpan handphonenya, Stevi kembali menulis.

"Aku udah ngasih tahu dia, tapi cuma dia read." Balas Stevi, pandangannya masih terpaku pada rumus rumus didepannya.

"Oh ya Za," Stevi menutup buku-bukunya dengan sembarang dan menatap Seza.

“Kenapa kamu cinta aku?” Tanya nya.

Seza mengerutkan kening, “mungkin udah takdir.” Jawab Seza. Karena dirinya tidak bisa mendeskripsikan bagaimana cinta itu bisa muncul.

“Kalau takdir kita pisah?” Tanya Stevi.

“Ish! Kok ngomongnya gitu.” Ucap Seza kesal. Jelas, dirinya tidak bisa berpisah dari Stevi.

“Lagian kamu ngomongnya takdir. Aku kan nanya alasannya..”

Seza mencubit pipi Stevi. “Nggak semua pernyataan punya alasan.”

Stevi menghela napas, dia menyandarkan tubuhnya di kursi, masih menatap Seza. Rasanya wajahnya itu pengantar damai di dalam hatinya.

“Giliran aku yang tanya.” Ucap Seza.

Stevi kembali menegakkan duduknya. “Apa?”

“Kenapa kamu milih aku? Kenapa bukan Nata yang memiliki banyak persamaan sama kamu..”

Nata lagi.

“Karena…. Definisi cinta menurut aku itu saling melengkapi kayak potongan puzzle.” Ucap Stevi. Mendapat anggukan dari Seza. Setidaknya perasaan Seza melega karena Stevi tidak menyukai Nata.

"Masih jam empat sore, ikut aku yuk?" Ajak Seza. Stevi mengangguk.

Setelah Stevi menyetujui ajakkan Seza, ia membereskan buku yang berserakan di meja cafe dan menyimpannya di tas sedangkan Seza lebih dulu keluar dari cafe untuk menyiapkan mobilnya. Mobil mereka melaju di jalan ber aspal, Stevi menatap keluar jendela mobil.

"Kita kemana?"

Seza tidak menjawab, ia hanya tersenyum di sepanjang perjalanan.

"Sudah sampai." Ucapnya membuka sabuk pengaman.

Sekali lagi Stevi menoleh kearah Seza, "bukit?"

Seza mengangguk, ia membantu melepaskan sabuk pengaman yang dipakai oleh Stevi.

Mereka berdua berjalan menaiki bukit yang tidak terlalu tinggi dengan pohon pohon di sekitarnya, mobil Seza berada di bawah tidak jauh dari atas bukit yang mereka pijaki sekarang ini.

"Coba lihat langitnya," titah Seza.

Kedua pasang mata itu dengan serempak menatap langit biru dengan sebagian warna jingganya, begitu indah.

“Kamu lihat langit jingga itu? Cantik kan?” Tanya Seza.

Stevi melirik Seza yang masih menatap kearah langit. “Iya.”

Tiba-tiba Seza memandang kearahnya, “tapi aku nggak mau kamu jadi langit jingga.”

Stevi menautkan alisnya. “Kenapa? Aku nggak cantik ya?” Tanyanya minder.

Seza tersenyum, dia menggeleng. “Karena aku nggak mau kamu datang di hidup aku hanya sementara. Langit jingga memang cantik, tapi dia hanya singgah setelah itu terganti oleh langit malam yang gelap.”
••

Publish, 12 Mei 2016

Awareness: Is (not) The EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang