16. It's happiness?

Start from the beginning
                                    

"Oke oke habis ini pulang ya?" Bujuk Nata.

"Iya iyaaa..Ayooo!" Lena melepas tangan kanan Nata yang hinggap dibahunya, kemudian ia menggenggam tangan kekar itu.

••

"Nata."

Merasa dipanggil pria itu berhenti menaiki anak tangga dan menoleh.

"Kenapa baru pulang?”

Nata menghela napas, setiap hari dia selalu mendengar pertaanyaan. “Aku capek bu. Mau istirahat."

"Yasudah nanti ibu buatkan cokelat panas ya?" Bukannya memarahi Nata, Hani malah membuatkan cokelat panas. Ibu ter-segalanya.

Setelah mengangguk Nata kembali melangkahkan kakinya, ia membuka pintu kamar dan menutupnya kembali. Kemeja sekolahnya ia tanggalkan begitu saja hingga tersisa Nata berbalut kaos putih dengan celana abunya, ditatapnya jendela kamar rumah seberang yang menampilkan siluet gadis sedang menguncir rambut entah mengapa Nata tiba tiba saja tersenyum. Dia merindukan gadis itu walau dirinya belum bisa menyadari.

"Nat, Ini ibu bawa cokelat panas."

Nata berjalan membuka pintu kamar, Hani tersenyum melihat putranya. Ia menyerahkan secangkir cokelat panas yang disambut baik oleh Nata.

"Kenapa selalu pulang malam akhir akhir ini?"

Diseruputnya cokelat panas itu, "biasalah bu tugas seorang cowok."

Hani tertawa dan menepuk bahu putranya, "jangan sampai lupa waktu juga sayang."

Nata memeluk Hani singkat, "engga kok bu."

"Kamu jarang bareng Stevi ya sekarang?"

Ia berdeham, dia belum bercerita tentang ini pada sang ibu. "Pacarku minta aku buat jauhin Via, itu salah?"

Hani tersenyum dan mengusap rambut putranya, "menjauhi seperti apa?”

“Menjauh, aku nggak pernah bertegur sapa sama Via.” Jawab Nata jujur.

"Kalau Nata seperti itu sama aja memutuskan tali silaturahmi dong." Ucap Hani.

Nata mengangguk, pikirannya selalu berperang dalam hal ini.

"Tapi kalo pacar Nata tahu, dia marah marah ke Via? Aku nggak mau dia marahin Via." Bantah Nata sebenarnya dia juga tahu kalau sebelum-sebelumnya Lena sudah mengganggu Stevi hanya saja gadis itu tidak pernah bercerita. Hingga sampai dimana dia tahu dengan sendirinya dan memilih benar-benar menjauhi Stevi. Agar gadis itu tidak terluka.

Hani tersenyum lagi pada putranya. “Semua terserah kamu. Ibu tahu, yang kamu lakuin pasti yang terbaik. Ingat aja, jangan sampai menyakiti siapapun.”

Nata terkekeh mendengar penuturan Hana. "Tenang, Nata akan tetap jadi pria yang bertanggung jawab." Ucapnya dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi.

Setelah obrolannya dengan Hanna, ia kembali masuk ke kamar dengan cangkir yang masih ditangan kirinya, ia teringat satu hal.

Belum mandi.

Jam dinding yang tertempel indah menunjukkan pukul setengah dua belas. Pria itu menghela napas, ia urungkan niatnya untuk mandi.

••

"Seza? Ini masih jam lima pagi kenapa udah ada dirumah?" Protesnya ketika ia sudah membuka pintu, sebelumnya Stevi sedikit terkejut ketika Seza menelpon dan mengatakan bahwa pria itu sudah berada di depan rumahnya.

"Mending kamu siap siap, aku mau buat kan makanan." Ucapnya, ia berjalan memasuki rumah Stevi. Dengan masih setengah sadar gadis itu duduk di kursi makan memperhatikan Seza yang tengah sibuk dengan peralatan masaknya.

"Kok malah disitu? Sana mandi."

Stevi mengangguk, ia berjalan gontai menuju kamarnya.

Dengan tergesa gesa gadis itu segera turun dari kamar dengan seragamnya yang masih sedikit berantakan, dia melirik kearah dapur dan tidak menemukan pacarnya itu.

"Apa tadi cuma mimpi?" Ucapnya pada diri sendiri,

"Hei, malah ngelamun. Sini makan bareng aku."

Spontan Stevi berbalik, ia sedikit terkejut dan berlari menghampiri Seza.

"Kamu? Jadi, pagi pagi buta kamu bener datang kesini?" Selidiknya tak percaya.

Seza terkekeh, ia merangkul bahu Stevi menggiringnya menuju ruang tamu. Disana sudah ada nasi serta beberapa lauk yang nampak menggiurkan.

"Ini untuk pacarku, sebelum sekolah sarapan dulu ya." Seza memberikan piring yang sudah berisi sedikit nasi untuk Stevi.

Jangan tanya ekspresinya sekarang, cengo bak kambing congek.

"Ayo dimakan nanti kita telat." intruksi Seza lagi, karena sadari tadi Stevi menghiraukannya.

"Ini beneran? Aku me-"

"Sst gausah banyak tanya oke?" Potong Seza.

Stevi mengangguk patuh, ia menyendok beberapa lauk yang tersedia. Tidak ada percakapan saat makan berlangsung hanya ada suara sendok dan piring yang sedikit beradu. Acara makan mereka selesai, Stevi membawa piring bekas mereka dan mencucinya di dapur sedangkan Seza ia menyimpan nasi dan lauk yang tersisa keatas meja makan.

"Sezaaaa makasih ya, aku seneeeeng bangeeeeet." Stevi memeluk pacarnya sangat erat, Seza mengulum senyum sambil membelai rambut hitam milik Stevi.

"Berangkat yuk?" ajak Seza, Stevi mengangguk ia merangkul pinggul Seza dibalas rangkulan juga pada bahu Stevi.

Sebelum memasuki mobil, mata Stevi tertuju pada seorang pria yang tengah memakai helm nya. Mereka saling berpandangan hingga Stevi yang memutuskan kontak matanya dan memasuki mobil Seza.

"Liatin apa sih tadi? Nata ya?" Selidik Seza.

Stevi menyunggingkan senyum dan menggeleng.

"Ada masalah?" Seza bertanya lagi

Ia menghempaskan tubuhnya kebadan kursi mobil, dan menatap lekat Seza.

"Kamu cemburu kalo aku deket sama Nata?"

Seza terkekeh pelan, ia mendekatkan tubuhnya pada Stevi memakaikannya sabuk pengaman.

"Cemburu pasti ada. Siapa yang tega ngeliat cewenya mesra mesraan sama cowok lain. Tapi aku  percaya kalau kamu tulus sama aku, jadi aku nggak mempermasalahkan hal itu terlalu jauh." Jawabnya. napas Seza terasa di wajah Stevi, posisi mereka sangat dekat. Setelah selesai dengan urusan sabuk pengaman, Seza kembali ketempatnya dan menatap Stevi.

"Apa ada banyak hal yang aku lewatkan selama aku pergi?"

Stevi menggeleng untuk meyakinkan pacarnya itu, "Nggak kok. Aku rasa, aku adalah orang yang paling beruntung bisa pacaran sama kamu," ucap Stevi tulus. Dia mencondongkan wajahnya pada Seza.

CUP!

Setelah menyentuh pipi Seza, Stevi mengulum senyum.

"Thanks for everything. And let's go!"

Seza terpaku sejenak, setelah kembali tersadar ia mulai menyalakan mesin mobilnya. Jalanan kota agak macet, mungkin mereka akan sampai di sekolah sedikit lama.

"Kamu sakit? " Tanya Stevi, Seza melirik singkat ke samping dan menggeleng.

"Terus kenapa senyum senyum gitu?" tanya Stevi lagi, ia sedikit curiga karena dalam perjalanannya Seza tidak pernah berbicara hanya menampakkan senyum senyum misterius.

"Efek ini nih." Jawab Seza, tangan kirinya memegang pipi kiri yang beberapa menit lalu dihinggapi oleh bibir Stevi.

"Ih Seza!! Aku malu." Stevi menutup mukanya yang mungkin sudah memerah itu. Butuh keberanian ekstra untuk mencium pipi Seza dan pria itu malah mengungkitnya. Dasar!

••

8 Mei 2016

Awareness: Is (not) The EndingWhere stories live. Discover now