Vier

171 24 23
                                    

"Regita, ayo pergi," ajak Marissa pelan, nyaris seperti desiran angin yang berlalu. Diliriknya Regita yang masih melotot dengan kepala yang menyundul ke dalam. Marissa serta merta menahan untuk tidak berteriak. Rahangnya mengeras. Lututnya lemas. Kepalanya berkunang-kunang. Keringat dingin mulai membanjiri seluruh tubuhnya. Dan tangannya mulai gemetaran. Tidak, fase penyakit konyol itu jangan muncul saat ini! Masa iya mau menjadi ayan di tempat asing?

"Re—" baru saja Marissa ingin memanggil Regita, cewek itu malah menghardik aktivitas yang ada di depannya. Marissa segera mengamit lengan Regita dan menariknya. Regita memberontak. Melepaskan cengkraman Marissa secara kasar. Marissa mendengus malas. Ia pun menarik lengan Regita lagi dan menjauh dari kamar kos Farhan dengan susah payah. Karena cewek itu terus menerus mengumpat dan mengeluarkan bahasa kasar. Akhirnya Marissa menggiring Regita dengan memiting kepalanya dan membekap mulutnya, persis seperti penculik anak-anak.

Bukannya Marissa tidak mau menegur perbuatan Farhan, entahlah, mungkin ia berpikir bahwa pergi adalah jalan yang terbaik. Marissa bukanlah tipe orang yang suka berlarut-larut dalam sebuah masalah. Ia lebih memilih menyelesaikan masalahnya saat itu juga atau pergi. Dan kali ini, ia takkan mau memilih opsi pertama.

Matanya pun masih memerah, tapi air mata tak sudi untuk keluar. Untuk apa pula menangisi lelaki macam Farhan? Hanya membuat dada kian sesak. Jika boleh tertawa, ia akan tertawa sekarang. Tapi kondisi tak mendukung, karena sekarang mereka menuruni tangga yang tadi mereka lewati setengah berlari, dengan banyak pasang mata tak lepas dari mereka.

Regita melepas tangan Marissa yang membekap mulutnya. Setelahnya, ia yang menggandeng tangan Marissa kuat-kuat. Seolah takut Marissa akan berlari menjauh darinya. Regita tahu, Marissa termasuk orang yang bisa menahan emosinya dengan teratur. Sedangkan dia sendiri orang yang tak bisa menahan emosinya. Tapi kali ini, entah mengapa ia menurut saja ketika diseret oleh Marissa. Walaupun awalnya memberontak.

Sudah sejak awal Regita mengetahui bahwa Farhan hanyalah cowok yang suka menebar janji. Tapi cinta membutakan. Regita terlambat memberi tahu Marissa hingga satu kenyataan mencampakan Marissa.

Farhan gay.

Cowok itu melakukan adegan seks di kamarnya bersama teman kampusnya. Sial sekali untuk Marissa, harus melihat adegan itu secara nyata.

"Mar, ke rumah gue?" tanya Regita ketika mereka sudah sampai di dalam mobil Regita. Marissa hanya mengangguk-angguk patuh. Regita tersenyum tipis. Sejurus kemudian, Regita menyalakan mesin mobil dan mobil pun melesat pergi. Membelah kepadatan hari kerja pada siang hari di Ibukota.

Regita melirik ke arah kursi di sebelah kirinya-tempat Marissa duduk. Cewek itu sedang duduk dengan kedua kakinya yang naik ke atas jok mobil dan memeluk keduanya. Menyembunyikan kepalanya dalam pelukan itu. Cewek itu mendadak bisu. Tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Regita kembali terfokus pada jalan raya. Alih-alih macet, jalanan kosong melompong. Sebuah keajaiban yang terpencil dan patut di syukuri. Andai suasananya tak lagi seperti ini, pasti Regita dan Marissa akan goyang oplosan sanking girangnya mendapatkan perjalanan lancar.

Regita menghela napas panjang. Tahu-tahu ia sudah memarkir mobilnya di depan pagar rumah. Regita melepas seatbelt-nya lalu keluar dari dalam mobil dan membuka gerbang seraya masuk kembali ke dalam mobil. Dan Marissa masih tak berkutik. Dengan posisi yang sama dan perasaan yang sama.

Regita sedikit menghiraukan Marissa, karena ia tahu bahwa Marissa butuh waktu. Regita lantas membawa mobilnya untuk memarkir di dalam bagasi. Seusai itu, ia membuka pintu mobil dan keluar. Tapi Marissa masih di dalam. Regita berjalan mengelilingi bagian depan mobil untuk ke pintu penumpang.

"Marissa," panggil Regita sambil mengetuk-ngetuk kaca jendela. Karena tak mendapat reaksi dari Marissa, Regita membuka pintu dan menarik Marissa keluar. "Lo mau sampai kapan di dalem mobil? Sampai banjir bandang melanda Afrika?"

Melodie StumpfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang