Zwei

229 36 36
                                    

DUK

"Aduh!" Marissa meringis ketika sebuah dus berwarna cokelat tua yang dibawa Reza mendarat mulus di punggung kaki kanannya. Refleks, tangannya pun menjatuhkan tentengan tas besar yang dipenuhi dengan gambar bunga. Dan lagi, menimpa kakinya.

"Aaw!" pekik Marissa seraya mengangkat kaki dan mengusap-usap punggung kakinya yang tertimpa barang.

"Hahaha. Benyek dah tuh kaki," celetuk Reza dengan suara kencang. Kontan membuat Marissa melotot.

"Reza! Nggak boleh gitu sama Ica!" sahut Fiona yang berada disebelah Marissa dengan mata melotot juga. Reza hanya terkekeh sebentar, lalu mengangkat dus berwarna cokelat tua itu dan kembali berjalan ke arah mobil yang hendak dipakai untuk membawa Marissa beserta barang-barangnya ke terminal.

Semalam, Marissa sudah sepakat hari ini untuk berangkat ke Jakarta menggunakan bus. Dan Marissa sudah mengecek jadwal keberangkatannya, yaitu pukul satu siang. Maka dari itu, selepas adzan Zuhur ia mulai bergegas membawa semua barang menuju mobil. Tak lupa Fiona sempat menciptakan suasana haru yang euforia ketika Marissa tengah membenahi semua keperluan yang harus dibawa.

"Ayangku ..." panggil Fiona sembari mengelus pipi Marissa, lagi. Marissa hanya cengengesan tak berarti. Matanya sibuk melirik-lirik liar ke arah halaman rumah. Sedangkan tentengan tas besar yang tadi tak sengaja ia jatuhkan sudah dibawa Reza dan dimasukkan ke dalam bagasi.

"Ayang, jangan lupain mama loh ya. Jangan ngerepotin Mbak Elis atau Regita. Jangan makan terlalu sedikit. Jangan suka keluyuran sama om-om. Jangan-" cerocos Fiona dalam satu tarikan nafas, dan kalimatnya terpotong begitu Marissa menempelkan jari telunjuknya di depan bibir Fiona.

"Shh! Ngawur! Siapa juga yang keluyuran bareng om-om? Emangnya Ica cabe-cabean yang nggak punya kerjaan? Mama nih ngomongnya ngelantur," ucap Marissa jengkel. Yang benar saja Marissa akan berjalan bersama pria-pria yang tak dikenal? Mamanya ini suka berpikiran yang aneh-aneh.

"Kan kali aja. Hah ..." Fiona menghela nafas panjang. Lalu telapak tangannya bergerak menepuk wajah Marissa. Marissa terkejut, lalu menoleh ke Fiona dengan memasang wajah masam.

"Diem dong, Ma. Nanti hidung Marissa pesek kayak Mama," gerutu Marissa seraya melirik ke halaman rumah. Sosok yang ia cari sedari tadi tak muncul juga. Marissa mendengus pelan.

"Iya, iya! Mama emang pesek! Mama terima dengan lapang dada!" sahut Fiona dengan nada ngambek. Sedetik berikutnya ia seperti tersadar sesuatu. Fiona menoleh ke Marissa dengan memasang wajah memelas dan pasrah. "Emangnya dada mama lapang ya Ca?" tanya Fiona lirih. Marissa menggelengkan kepalanya dengan raut wajah bingung bercampur kesal.

"Terserah mama deh," ucap Marissa acuh tak acuh. Tak lama kemudian, suara dentingan bel berbunyi nyaring. Meramaikan suasana yang sempat sunyi beberapa saat. Seekor kucing berbulu abu-abu tua dengan kumisnya yang panjang serta hidungnya yang kelewat mancung ke dalam, berlari-lari ke arah Marissa. Disusul oleh seorang pria berperawakan tegap dengan wajah berseri-seri yang berjalan di belakangnya.

"MOLIIIII!!" teriak Marissa menggelegar. Kucing persia itu segera di tangkap Marissa dan digendongnya. Tangannya terulur mengelus-elus puncak kepala Moli, kucing persia kesayangannya.

"Aihh, aku bakal kangen kamu ... jangan nakal ya di rumah. Awas aja mainin burung aku," kata Marissa dengan mata berbinar. Sedangkan papanya mengerutkan kening.

"Loh, kamu emang punya burung Ca?" tanya papanya yang bernama Ridwan itu. Marissa senyum-senyum tidak jelas.

"Iya, aku punya burung kakak tua di belakang rumah. Nah, si Moli nih suka ngejar-ngejar burungnya pa," jawab Marissa jujur. Sebenarnya ia tidak boleh memelihara burung. Karena kata Fiona, memelihara burung itu sulit, harus sedia vaksin dan vitamin dengan jumlah yang lebih banyak dari yang dibutuhkan dalam merawat kucing. Lagipula, burung itu suka berkeliaran, tidak suka di dalam kandang.

Melodie StumpfWo Geschichten leben. Entdecke jetzt