Nona Laura

21 0 0
                                    

"Laura, kamu udah sadar?"

Bayangan buram seperti televisi tua yang sudah lama tak menyala mulai menyelimuti korneaku. Apa sebenarnya yang telah terjadi? Dimana aku? Rasanya tanpa perlu bertanya itu, semua sudah terjawab saat aku melihat jarum yang menancap di pergelangan kiriku dan seketika kurasakan ada yang mengalir melalui rute intravena-ku.

"Laura, ini aku Hana. Kamu kenapa bisa senekat ini sih?"

Entah mengapa bibirku seolah berada di bawah tiga puluh dua derajat fahrenheit. Tak sepatah kata pun terucap, mesti aku berusaha mengeluarkannya. Mungkin ini kesempatan terbesarku untuk belajar menjadi seorang pendengar yang baik.

"Yaudah jangan dipaksain buat ngomong dulu. Kamu masih butuh banyak istirahat".

Hana kala itu terlihat seolah master mentalis yang dengan seketika dapat menebak apa yang aku pikirkan.

Tak banyak bicara, ia pun menggenggamkan sesuatu di telapak tangan bagian kananku. Sepersekian detik aku ingin membukanya, namun ia kembali menyahutku dengan singkat.

"Itu nomer aku yang sekarang, nanti kalo keadaan kamu udah baikan telpon ke situ ya"

Aku hanya menjawabnya dengan senyuman, seolah berkata "Iya Han, aku pasti langsung telpon kamu". Meskipun aku bahkan tak ingat dimana keberadaan ponselku saat ini.

Tak lama, Hana pun bergegas meninggalkanku sambil meletakan sesuatu di atas meja tempat aku berbaring. Sesaat aku meliriknya, itu nampak bukan seperti buah-buahan ataupun makanan yang biasanya dibawa saat membesuk.

**

Ya, aku tak salah menduga. Hana membawakanku sekuntum bunga berkelopak putih dengan paduan warna hijau di bagian tengahnya. Seketika, celebrum-ku memunculkan kata "aster". Meskipun aku belum mengerti alasan Hana membawakanku bunga tersebut.

Dari ekspresinya menutup pintu kamarku, aku menebak bahwa Hana mungkin sedang terburu-buru. Kulihat kembali benda yang kini masih menempel di genggamanku. Tertera sebuah nama teman kecilku yang bertahun-tahun duduk di sebelahku semasa sekolah dasar.

Hana Kartika
Reporter
MyNews TV Group
Ph.08xx xxxx xxxx

Rupanya kini ia telah bekerja di sebuah media televisi nasional yang dulu seringkali ia bicarakan di kantin sekolah. Ia memang tak pernah bercerita sebelumnya mengenai keberhasilannya meraih pekerjaan yang diimpi-impikannya itu.

Selama satu tahun terakhir ini setelah mendapatkan gelar sarjana komunikasi, ia tak lagi tinggal satu kota denganku. Mungkin ini adalah kejutan yang sengaja ia simpan. Ya, aku memang terkejut dan bahkan belum sempat mengucapkan selamat padanya.

***

Klekk!

Pintu kamarku kemudian terbuka selang beberapa saat kepergian Hana.
Nampak seorang lelaki berpakaian jas snelli putih menghampiriku. Ia cukup tampan, bagiku ini seolah berada dalam sebuah adegan drama korea.

"Permisi, nona Laura. Anda sudah bangun rupanya?" tanya pria itu.

Tentu saja kalimat itu merupakan hal yang lumrah. Aku hanya menjawabnya dengan tatapan kosong. Sekilas aku terpaku dengan gelar di belakang namanya pada badge yang menempel di dada kirinya.

Alexa Tan, Sp.KJ

Sebenarnya apa yang telah terjadi denganku sampai-sampai harus ditangani oleh dokter spesialis kejiwaan. Apakah aku sudah tidak waras lagi. Atau jangan-jangan ini adalah hukumanku yang gagal mengikuti seleksi koas. Tidak mungkin, aku bahkan belum sempat menerima gelar sarjana apapun dalam hidupku.

"Tenang saja, saya tidak memaksa anda untuk mengingatnya"

Ia kemudian melanjutkan perkataannya, seolah menyadarkanku dari hipnotis badgenya.

"Anda hanya mengalami demensia ringan sementara ini akibat obat yang anda konsumsi secara berlebihan. Namun, jika tidak cepat ditangani kondisi ini tentunya akan mempengaruhi sel-sel kerja otak anda yang lainnya"

Bagiku, penjelasan seperti ini lebih mudah dicerna ketimbang buku-buku tebal yang biasa aku baca.

"Ya sudah, kalau begitu jangan anda paksakan kerongkongan anda untuk mengeluarkan suara dulu. Ia akan kembali nanti dengan sendirinya, tenang saja"

Kalimat itu menutup perjumpaan singkatnya denganku. Ia kemudian mengisi beberapa catatan yang dipegang di tangan kirinya lalu pergi meninggalkan ruangan.

Aku pun melanjutkan kesendirianku dengan menatap jarum jam yang diletakan tegak lurus dari arah tempatku berbaring.

Jam itu seolah berotasi pelan dan menghasilkan sugesti yang sempurna untuk menutup kedua kelopak mataku kembali.


----- to be continued -----





You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 30, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Pavilion No.92Where stories live. Discover now