My Life

176 59 33
                                    

Aku terbangun dari tidurku karna mendengar peluit yang cukup panjang dan memekakkan telinga. Itu pertanda bahwa aku sudah sampai di kota tujuanku. Surabaya.

Hal pertama yang menarik perhatianku adalah dia. Diantara ratusan manusia yang saling berdesakan, dia terlihat berbeda. Senyum yang mengembang disetiap langkahnya. Sapaan ramah pada setiap orang yang ia jumpai. Dan bagaimana ia menolong orang-orang.

Untuk beberapa saat aku terpaku pada senyumannya. Lesung pipinya begitu dalam. Dan dimenit berikutnya tatapan kami terkunci. Seolah sudah terprogram, aku membalas senyumnya dengan senyum termanis yang kumiliki.

Tapi dia langsung memalingkan wajahnya karna ada seorang gadis kecil yang menarik ujung kemejanya. Sedikit kecewa tapi tak apa. jika memang dia yang telah ditakdirkan untukku, Tuhan pasti akan mempertemukan kita lagi.

“Deva!” teriak seseorang yang suaranya sangat kurindukan. Kuedarkan pandanganku ke seluruh tempat di stasiun. Dan pandanganku menangkap seorang gadis berambut panjang yang memakai kaos dan celana selutut sedang membawa kertas besar bertuliskan namaku DEVANYA.

Aku berlari kecil kearahnya yang langsung disambut pelukan hangat olehnya. Dan untuk sejenak aku melupakan seorang laki laki yang membuatku terpanah beberapa saat tadi.

Kami pun bertukar banyak cerita saat perjalanan kerumah. Sudah 4 tahun aku tak berjumpa dengannya. Dia kakak yang paling ku sayang. Kami kembar tapi tak identic, dia memiliki 2 lesung pipi yang membuatku iri. Karna aku tak memilikinya, barang satupun.

Aku tinggal disebuah desa di pinggiran kota Surabaya. Dan hari ini aku pulang setelah menempuh pendidikan S1 di Yogyakarta, aku pulang dengan membawa gelar sarjana pertanian.  Mengapa sarjana pertanian? karna aku berkeinginan kuat untuk membuat desaku menjadi desa yang lebih maju.

Membutuhkan waktu satu jam dari stasiun untuk menuju desaku jika menggunakan mobil. Kebetulan ini mobil kakakku. Walau dia hanya lulusan SMA tapi dia bisa mencukupi kehidupan Ayah, Ibu, dan dirinya selama aku pergi. Bahkan usaha kripiknya sukses. Dan aku ingin sepertinya.

“Deva bangun napa, ngebo banget ih,” ucap seseorang yang membuat tidurku terusik
“5 menit lagi,” jawabku dengan suara serak.
“Udah sampai dirumah Dev, Ayah sama ibu dah nungguin tuh.”
Ayah? Ibu? aku masih berusaha mencerna sederet kalimat itu dan mengumpulkan nyawaku yang masih beterbangan. Setelah tersadar sepenuhnya aku langsung berteriak dan lari keluar mobil “AYAH! IBU!” Kakakku hanya geleng geleng kepala melihat kelakuanku.

Aku langsung menuju halaman belakang karna disanalah tempat favorite mereka. Kulihat, Ayah dan Ibuku sedang duduk berdua disebuah bangku pajang. “Ayah Ibu aku kangen kalian.” Aku berteriak dan langsung berlari kearah mereka. Tanpa menunggu persetujuan mereka, aku langsung memeluknya. 

Air mata kerinduan keluar sudah. Dan kurasakan Ibuku juga menangis tapi tidak dengan Ayah. Dia masih bisa menahan air matanya. Mungkin dia tak ingin terlihat lemah didepan putri bungsunya. Aku bisa memakluminya.

Selesai bercerita semua hal. Aku langsung pamit untuk tidur karna aku cukup kelelahan. Sorenya kakakku mengajakku keliling desa. Aku pun menyambutnya dengan antusias. Diperjalanan banyak yang menyapa kami. Aku tak menyangka orang orang masih mengingatku.

Tiba-tiba ada segerombol anak yang membawa sebuah brosur. Aku mengambil satu dan ternyata isinya adalah sebuah les Piano di desa sebrang. Kutunjukkan pada kakakku, dan dia mengangguk setuju.

The Bird PaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang