Chapter 4: Keluarga Itu Tak Lagi Memiliki Warna Part 1

925 83 14
                                    


Aku dengar kalau hampir secara serentak perkuliahan sebentar lagi akan memasuki masa liburan. Setelah berperang dengan kumpulan soal yang memaksa ingatan dan nalar dipergunakan secara maksimal, disediakan waktu-waktu untuk berelaksasi adalah hal yang wajar dan manusiawi.

Biasanya para pelajar akan gelabakan ketika hari menghadapi ujian semakin dekat. Mereka akan menghabiskan waktu untuk berkutat dengan buku pelajaran karena sebelum-sebelumnya tidak terlalu peduli. Yah, bisa dibilang sistem kebut semalam sudah menjadi budaya.

Mungkin ini terdengar aneh, tapi Rico sama sekali tidak melakukannya. Bahkan dari saat kami pertama kali bertemu, dia sama sekali tidak membuka yang namanya materi pelajaran.

Ini bukan berarti aku berpendapat kalau semua orang yang melakukan hal tersebut aneh. Maksudku, dia itu Rico loh. Makhluk yang tidak ada kesan pintarnya sama sekali. Apa sebegitu percaya dirinya kah dia dengan kemampuannya? Atau dia melakukan itu karena saking pasrahnya?

Jika aku menanyakan perihal tersebut, aku sudah bisa membayangkan jawaban dan ekspresi apa yang akan ia berikan, dan aku sama sekali tidak ingin mendengarnya.

"Tetap saja aku memilih tiga koma satu. Jangan kesampingkan kemungkinan keberuntungan orang aneh ini."

"Oi, Eve. Kau pikir dia punya keberuntungan? Dua koma tujuh itu saja sudah terlalu bagus untuknya."

Anehnya, aku dan Eve memiliki pendapat yang berbeda dan malah memicu perdebatan. Lebih tepatnya sih karena Rico menolak untuk memberi tau indeks prestasinya di semester satu dan dua. Tentu aku yakin bahwa Rico hanya menyembunyikan fakta kalau nilainya jeblok semua, namun Eve berpikiran sebaliknya.

Tapi melihat track record-nya sebelum test, bukankah nilai indeks prestasi yang diperkirakan Eve terlalu tinggi?

Lagipula, selama beberapa hari ini, kami berdua tinggal di rumah Rico. Aku melihat betul apa-apa saja yang ia lakukan, bahkan ia lebih memprioritaskan memasarkan beberapa produk aplikasi ke orang-orang.

Terkadang situasi yang kelihatannya sepele menjadi pemicu perdebatan antara aku dan Eve; seperti saat kami membahas tentang lebih duluan telur atau ayam. Aku lupa sudah berapa kali aku kalah dan menang. Hanya saja, kalah debat dengannya kini menjadi salah satu hal yang sangat tidak aku sukai.

"Sudahlah, kalian berdua. Aku tau itu demi diriku, tapi tidak perlu sampai segitunya. Sesama hantu harusnya menjalin hubungan yang baik. "

Aku tau kalau Rico berusaha melerai, tapi aku merasa kesal dengan kata-katanya itu. Di siang hari yang mendung ini, dan besok adalah hari terakhir final test, Rico malah jalan-jalan di pusat kota.

Camkan ini. Aku bukannya peduli pada Rico, tapi aku peduli dengan hasil perdebatanku melawan Eve!

"Nah, dengarkan itu baik-baik, Tuan Sampah Masyarakat. Tidak perlu sampai segitunya. Karena sudah pasti pendapatku yang benar."

"Justru pendapatmu itulah yang membuatku sampai segitunya. Dan lagi, jangan panggil aku sampah masyarakat! Aku sudah memiliki nama! Adam! Ingat itu baik-baik!"

Mataku mengarah ke tatapan remeh Eve. Seruan Rico yang kemudian datang sontak membuatku beralih.

"Eh? Aisha! Kebetulan sekali!"

Perhatianku kini terfokus pada sesosok gadis anggun dengan rambut cokelat sepinggang. Tangan kirinya menggenggam sebotol minuman kaleng, sementara tangan kanannya membawa tas gandeng. Celana jeans biru dan jaket biru dengan resleting terbuka yang mengekspos t-shirt hitam polosnya tampak menunjang parasnya yang lumayan menawan.

Lonely Ghost: BondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang