destruction that came last week

281 3 2
                                    

Sekitar 2 minggu yang lalu ayah ku baru saja pulang dari Turki, dia mengajak ku dan ibu ku liburan. Kami memutus kan liburan ke Lombok, kami akan berangkat besok pagi menaiki pesawat dengan jadwal pemberangkatan jam 8 pagi. Aku merasa sangat senang mendengarnya, karena sudah 1 bulan aku tidak bertemu ayah. Malam yang indah bagi ku, aku tidak sabar menunggu besok. Ku pasang alarm pukul 6 pagi, agar tidak terlalu kesiangan.

Pagi pun datang aku dan ibu ku sudah siap, terkecuali ayah ku yang masih saja tidur di pulau kapuknya. Semua baju sudah berada di dalam koper, tinggal menunggu ayah ku yang belum terbangun dari tadi.

"Ayo bangun, kita sudah siap." Ibu ku mencoba membangunkannya tapi ayah ku masih sibuk di dalam sana.

"Ayo bangun yah. Kita sudah siap! Ayo, ayo!" Aku mencoba membantu ibu walupun aku memang sedikit seperti anak kecil.

Sudah hampir setengah jam kami berusaha membangunkannya, ayah belum bangun dari tidurnya sampai-sampai kami tidak menyadari bahwa jam sudah menandai pukul jam 7:45. Hanya ada waktu setengah jam lagi kita kebandara. Akhirnya ayah bangun tidurnya dan memakai pakaiannya. Ayah menghampiri ku dan ibu ku yang berada di ruang makan. Dia tampak terlihat kesal, dugaan ku benar sekali.

"Kenapa kalian tidak membangunkan ku? Lihat sekarang sudah jam berapa?!" Suaranya sangat kencang ia berbicara di hadapan ibu ku.

"Tapi aku sudah membangunkan mu!" Balas ibu berdiri di hadapan ayah, dan duduk kembali sambil memijit-mijit kepalanya.

Ayah masuk kembali ke kamar dan membawa kunci mobil. Dia memarkirkan mobilnya. Dan kembali keluar, ayah mengambil jaketnya dan memakai topinya.

"Ayo cepat masuk! Kita hanya punya 15 menit lagi." Ayah tersenyum kecil.

Aku sangat senang melihatnya, aku kira liburan ini akan batal. Liburan yang lalu-lalu karena ayah kesiangan atau masalah lain, itu akan di batal kan. Aku dan ibu beranjak dari bangku, cepat-cepat masuk ke dalam mobil.

Aku yang duduk sendirian di tengah mobil, senang melihat ayah dengan tidak memasang muka yang terbakar dengan amarah.

"Jam berapa sekarang?" Ayah melirik ke kaca mobil melihat ku.

"Jam 7:55 yah. Ayo yah, kita harus cepat-cepat." Suara ku sangat bersemangat, aku takut akan tertinggal pesawat.

Ayah menancapkan gasnya, sampai-sampai badan ku tersandar ke bangku. Mobil yang di kendarai ayah benar-benar sangat kencang. Aku langsung memasang sitbel ku. Tiba-tiba ponsel ayah berbunyi. Ayah sibuk dengan dirinya sendiri, sepertinya ia sedang kesulitan mengambil ponselnya. Ia beralih dari pandangannya ke jalanan sampai-sampai.

Bim, bim, bim

Tiba-tiba saja mobil box besar berjalan di hadapan mobil yang ayah di kendarai. Mobil yang dikendarai ayah terguling. Badan ku terguncang-guncang di dalam mobil, mobil yang di kendarai ayah berhenti ketika menabrak sebuah pohon besar.

Tidak lama kemudian ambulan, mobil polisi, dan mobil derek datang. Aku masih sadar di dalam mobil, kecuali ayah dan ibu matanya terpejam. Tubuh ku terasa sangat sakit saat aku sadari ada pecahan kaca yang tertancap di kaki ku dan di dahi ku. Mobil yang terbalik itu di kembalikan lagi seperti semula. Tubuh ku diangkat ke dalam ambulan, aku tidak satu ambulan dengan ibu dan ayah ku.

"Aw! Dimana ibu?" Desah ku dan mencari ibu.

"Ibu mu di ambulan yang lain. Kau tenang saja ya." Jawab perempuan berambut coklat di hadapan ku.

"Siapa kau?" Aku menatap perempuan itu dengan heran.

"Kau tenang saja, aku bukan orang jahat." Perempuan itu tersenyum manis pada ku.

Aku tersenyum balik dan membuang muka. Tidak lama kemudian mobil ambulan berhenti, aku turun dari mobil ambulan dan masuk ruang UGD. Seluruh pecahan kaca yang tertancap di tubuh ku di cabut.

"Aw! Hhhh." Desah ku menangis saat pecahan kaca di cabut oleh dokter.

"Tenang ya, sakitnya tidak akan lama kalau kamu diam. Kamu pasti kuat." Perempuan tadi memberi semangat pada ku.

"Sakit dok, sakit! Cepat dok!" Aku menahan sekuat rasa, dan berteriak sekuat tenaga untuk mengalihkan rasa sakit ini.

2 Jam sudah aku di dalam UGD, seluaruh pecahan kaca yang tertancap sudah tercabut semua. Banyak perban di sekitar badan ku. Dokter telah keluar ruangan, tinggal perempuan yang menolong ku saja di sana.

"Kau boleh keluar dari ruangan ini?" Perempuan itu membantu ku bangun

"Dimana ibu dan ayah ku?" Aku duduk di atas ranjang rumah sakit.

"Ibu mu di ICU sekarang dan ayah mu baru saja keluar. Dia juga ada di ruangan ini tadi." Perempuan itu membantu ku untuk turun dari kasur.

"Apa aku boleh masuk ke ruangan ICU?" Aku di tuntunnya keluar.

"Boleh saja, mari kuantar." Perempuan itu mengantar kan ku masuk ke ruangan ICU

Di ruangan ICU aku harus memakai pakaian khusus seperti jas dan masker. Disana ibu terbaring lesu, dia di bantu oleh alat-alat penopang hidup yang terpasang di tubuhnya. Aku tak kuasa melihatnya, aku memilih keluar ruangan.

"Kau menangis?" Perempuan itu menghampiri ku yang baru saja keluar dari ICU.

"Tidak. Apa kau lihat ayah ku?" Aku dan dia jalan keluar rumah sakit.

"Ayah mu tadi izin keluar, dia bilang ada urusan yang menunggunya." Kami menghampiri kantin rumah sakit

"Izin? Urusan apa? Dengan keadaan seperti ini dia masih sempat-sempatnya keluar." Jalan ku terhenti saat mendengarnya.

"Aku tidak tau. Maaf ya, aku sudah mencoba melarangnya. Dia marah besar pada ku, aku yang bukan siapa-siapanya tidak berhak melarangnya." Perempuan itu tertunduk ketakutan.

"Oh, tidak-tidak. Seharusnya aku yang meminta maaf dan berterimakasih pada mu, maaf ya aku sudah berbicara tidak sopan pada mu." Aku merasa tidak enak saat melihat wajahnya.

"Ya tidak apa-apa, aku tau kau pasti sangat kesal saat ini. Oh ya, nama mu siapa?" Perempuan itu mengambil nasi yang sudah di bungkus di salah satu penjual kantin.

"Nama ku Jeanita, panggil aku Jea." Aku mengulurkan tangan ku ketika kita sampai di tempat duduk.

"Nama ku Bianca, panggil aku Bia. Kau masih sekolah?" Bia mengulurkan tangannnya dan berjabat tangan.

"Aku masih sekolah, aku masih kelas 2. Kau sendiri masih sekolah?"

"Aku sudah lulus 2 tahun yang lalu, adik ku yang masih sekolah sekarang. Dia sama seperti mu." Bia tersenyum pada ku.

"Oh, kau sudah lulus. Maaf ya, seharusnya aku memanggil mu kakak." Aku kaget saat mendengarnya, aku kira dia masih sekolah dengan wajahnya seperti anak kecil.

"Tidak perlu, aku dan kamu hanya berbeda beberapa tahun saja. Tidak perlu memanggil kakak." Bia menolaknya dengan senyuman.

Pip, pip, pip

Ponsel Bia bergetar "Sebentar ya." Bia pergi ke pojok kantin, 5 menit kemudian ia kembali. "Aku harus pulang." Bia kembali dengan senyum.

Aku bangun dari tempat duduk "Oh ya, terimakasih ya. Biaya rumah sakit akan ayah ganti, aku boleh minta no rekening mu?" Aku mengeluarkan sobekan kertas dan pulpen.

"Tidak perlu." Bia menolaknya mentah-mentah dan berlari keluar memanggil taxi.

Aku mencoba mengejarnya, tapi dia sudah menaik taxi lebih dulu. Taxi itu berjalan cepat sekali, sampai aku di larang suster untuk berlari lebih jauh lagi.






StepmotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang