Chapter 2: Mud, Sweat, and Steel

504 38 20
                                    

Kediaman Hohenlöwen, Brandenburg, Jerman
Maret 1914

Angin tidak bertiup ke dalam ruang tamu namun udara musim semi tetap menyejukkan ruangan ini. Alam seakan-akan menyesuaikan suasana pembicaraan. Ruang tamu menjadi tempat yang indah dan pas untuk berbincang-bincang. Mungkin itulah sebabnya ayahku memanggil kami kemari untuk berbicara dengannya.

Ayah menepuk dan memegang bahu kiri Tristan. Ekspresi wajahnya terlihat serius. Tristan segera berdiri dari sofa dan siap mendengarkan apa yang ayah akan sampaikan padanya.

"Kau tentu tahu apa yang sedang terjadi di dunia ini bukan? Cepat atau lambat perang akan pecah," tanya ayah.

"Tentu, Ayah. Namun apa maksud Ayah membicarakan hal ini?" Tristan terlihat keheranan dengan apa yang dibicarakannya. Ayah memang jarang membawa persoalan politik ke dalam perbincangan-perbincangan kami. Kami tahu bahwa ada sesuatu yang sedang dipikirkannya.

"Ada sebuah benteng rahasia. Tepat di perbatasan selatan Jerman, dekat Austria. Ayah membangun benteng itu sepuluh tahun lalu. Sepenuhnya untuk keadaan darurat. Aku ingin kalian pergi ke sana apabila terjadi sesuatu pada rumah ini atau keluarga kita dalam bahaya. Kalian mengerti?" Ayah kemudian memandangku. Ia menunggu kami mengiyakannya.

"Tentu, Ayah." Kami berdua menjawabnya dengan tegas. Ia melepas bahu Tristan. Raut wajahnya terlihat lega.

Hutan Argonne, Perancis
20 Januari 1918

"Perlahanlah, Hun!" keluh seorang serdadu Inggris kepada salah satu prajurit kami yang sedang melucuti persenjataannya.

Waktu menunjukkan pukul 08.20. Dua puluh tentara Inggris kami tahan dan rasa penasaran masih menghantuiku. Ini adalah sektor terdepan dan strategis bagi Sekutu, lantas mengapa hanya dijaga oleh dua puluh orang? Aku butuh jawaban.

Aku berjalan menuju seorang kapten yang telah kami tahan. Ia sedang bersandar di tembok parit yang penuh lumpur sambil merokok. Tatapannya tertuju padaku, seakan-akan ia tahu bahwa aku akan meminta sesuatu padanya. Ketika aku sampai di hadapannya, ia tersenyum.

"Kau pasti penasaran mengapa parit ini kosong bukan?" Tak kusangka ia fasih berbahasa Jerman. Bahkan aksennya pun tidak terdengar seperti orang Inggris.

"Kau bisa berbahasa Jerman?" tanyaku dengan heran.

"Tentu saja. Ibuku orang Jerman, ia lahir di Hannover." Pria itu sedikit lebih tua dariku. Rambutnya pendek dan bewarna coklat. Kumisnya ditipiskan sesuai standar tentara Inggris agar tidak mempersulit pemakaian masker gas. Tingginya juga tidak terlalu jauh berbeda denganku. Seragamnya yang bewarna khaki telah ternodai lumpur dan terdapat cipratan darah pada ikat pinggangnya.

"Hmm, baiklah kalau begitu. Tolong jelaskan apa yang terjadi di sini kapten. Apakah ini jebakkan tentaramu?" Lennart menghampiriku dan ikut mendengarkan pembicaraan kami. Sang kapten membuang rokoknya ke dalam lumpur agar mati bara apinya.

"Bukan. Ini bukan jebakkan. Para jenderal memerintahkan batalyon ini untuk kembali ke markas dan berkumpul di sana bersama kesatuan-kesatuan lainnya. Namun beberapa orang, yaitu kami, diperintahkan untuk bertahan di sini dan melindungi mereka yang sedang dipindahkan. Hampir semua parit dikosongkan di sektor ini. Apa penyebabnya? Kami tidak yakin kami lebih tahu dari Anda."

Aku pun sulit mempercayainya. Kalau benar, pasti ada sesuatu yang membuat tentara Sekutu mengosongkan wilayah ini. Apa pun kebenarannya, aku tetap harus melaporkan hal ini ke markas.

"Lennart, panggil operator telegram! Kita akan mengirimkan pesan ke markas," perintahku kepada Lennart yang berdiri di sebelah kiriku.

"Jawohl!" Pemuda itu berlari ke dalam kerumunan tentara kami yang kini memenuhi parit Inggris bak antrian ke dalam kereta api.

The Plague to End All Plagues (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang