Satu

9K 522 71
                                    

Desiran angin lalu-lalang masuk jendela rumahku, membuat tirai-tirai buluk yang menghiasinya terombang-ambing ke sana-sini. Cahaya yang menyambar dari langit menggelegar begitu dahsyat di lanjutkan rintikan-rintikan kecil hujan yang seakan menggambarkan keadaanku. Ada yang ingin menemaniku di sini?

Suara lembut ketukan pintu memecah lamunanku di depan jendela meratapi titik hujan yang mendarat keras menghantam tanah. Kukira itu hanya suara decitan pintu tua rumahku, setelah kubuka, aku di beri tamu yang sempat-sempatnya datang ke rumahku di tengah hujan begini.

Seorang anak kecil? desisku dalam hati.

Jubah hitam melekat dari ujung kepala hingga kakinya, dia tidak ditemani siapa-siapa, hanya kotak besar yang berdiri dengan roda di samping kanan anak kecil itu. Dengan pelan dan hati-hati dia melangkah mendekat ke depanku. Aku menatapnya dingin tanpa mengatakan sepenggal kata dari mulutku.

Dia tersenyum -menjengkelkan- sambil membungkuk. Lalu berbalik mengambil kopernya yang berisi penuh -kupikir akan meledak. Kemudian berjalan kembali mendekatiku. Aku tidak mengerti apa tujuannya datang ke sini. 

Beberapa saat dia hanya membungkuk-bungkukkan badannya. Tetesan hujan membuat baju bagian bawahku basah nggak keruan. Dia membuatku kesal, tamu yang aneh. Tapi, kenapa aku tidak tanya saja? Bodoh.

"Ada apa ke sini? Mau cari masalah?" tanyaku dengan nada sinis. Begitulah serangkaian kata yang selalu loncat keluar ketika ada tamu yang tidak kukenal.

Dia mengangkat badannya tegap-tegap. Tapi, tidak menjawab.

Dia membuatku semakin kesal. Tangan kiriku bersandar di pinggir pintu. Aku menghela nafas kuat. "Mau apa, anak kecil? Apa aku perlu mengambilkan beras dengan kantong plastik sebesar truk agar kau mau pergi dari lapakku?"

Anak itu akhirnya menjawab. "Aku...Boleh menginap di sini?" tanya anak itu dengan mulut yang terus mengembangkan senyum manis, mencoba dengan itu membuatku merajuk agar aku mempersilakannya.

Aku memicingkan alis. "Menginap? Ini bukan hotel. Lagi pun, orang tuamu ada di mana? Kenapa sendirian? Diusir, ya?" timpalku sambil membenarkan posisi berdiri.

Dia menggeleng cepat. "Bukan. Kumohon, izinkanlah aku menginap di sini." Anak itu membuka hoddie yang menutupi kepalanya. Seketika air hujan langsung membasahi kepalanya yang ubun-ubunnya masih empuk sewenang-wenang. Matanya berbinar-binar memohon. "Kuharap kau mengizinkanku. Aku tak tahu harus minta dengan siapa lagi selain kau." Di akhir kata itulah ia terpuruk di tanah yang basah.

Aku tidak akan terhasut tipu muslihatnya. Aku tetap terus memandangnya dingin. Melipat tanganku lalu bersandar di mulut pintu sambil terus menjaganya agar tidak bisa di terobos paksa air hujan -anak kecil itu juga.

Aku menghela napas. "Aku bahkan sendirian juga. Aku memang membutuhkan orang yang dapat menemaniku," gerutuku pelan. Dia tersenyum kegirangan lalu beranjak berdiri. "Jangan pernah memandangku orang baik atau semacamnya, aku bahkan selalu mengusir tamu yang datang ke sini. Mungkin karena kamu kecil dan terlihat kedinginan, aku mengizinkanmu."

Anak kecil itu melompat kegirangan di antara rintikan hujan sore hari ini. Dia memeluk koper besarnya itu. Aku dapat melihat dia menelan sesuatu ke dalam kerongkongannya. "Terima kasih." Dia tersenyum lebar.

"Tapi, aku tidak akan pernah mengizinkan orang terlalu lama menginjakan kakinya di rumahku. Ke esokan harinya kau harus segera pulang ke kediamanmu, ingat!" kataku cepat-cepat sebelum ia menyelonong masuk.

Aku tidak pernah berpikir kalau ada anak kecil berani sekali keluyuran di tengah hujan deras, lalu meminta untuk meminjam kamar di rumah orang. Memangnya anak itu siapaku, sih? Kenal juga nggak. Lihat pun baru pertama kalinya ini. Seenggaknya dia nggak akan berbuat aneh-aneh di rumah kesayanganku, kupercayakan dia belum mampu berbuat jahat karena dia kecil.

***

Suara derekan roda kopernya menggores lantai kayu rumahku selama menuju kamar kosong yang dengan berat hati kupinjamkan untuknya. Dia terlihat senang sekali. Anak kecil itu sangat sopan ketika menyusuri rumahku. Dia juga sempat memuji rumah usia 50 tahun ini. 

"Rumah kakak unik, ya? Bagus juga. Masih terasa angin tradisional memenuhi setiap ruangan rumah kakak, ya, kan?" Begitu yang anak itu ucapkan ketika melewati ruang tamu. Aku yakin, kalimat itu akan terus mengambang di otakku.

"Nah, ini kamar untuk kau tempati istirahat. Banyak debu yang mengendap di dalamnya. Kusarankan agar kau mau membersihkannya. Aku nggak akan pernah sempat menyentuh sapu, " gumamku dengan cekikikan tawa yang menggema di lorong-lorong.

Dia tertawa renyah. Lalu mengangguk. "Aku tak sabar untuk melihat isinya. Mungkin banyak barang antik yang bisa kupandangi semalaman," ucapnya yang terasa seperti sebuah sindiran yang berjalan di telingaku.

Aku memutar tuas pintu kamar itu. Suaranya mengerik kuat telingaku. Menggema ke segala penjuru arah. Debu-debu berebutan keluar dari ruangan calon ditempati itu. Ketika kupandangi anak itu senang sebelum kubuka pintunya, kini raut wajahnya berubah drastis.

Anak itu tersenyum licik lalu bermuka masam ke arahku. "Mengejutkan sekali. Spot yang sangat cocok untukku. Sudah berapa lama aku tidak bisa menemukan kamar yang seperti ini?" sindirnya dengan tawa kuda.

Aku dibuatnya jengkel, aku ingin membanting kopernya itu, tapi aku tetap berusaha memuliakan tamu, kali ini saja. "Oh, begitu kah? Kuharap kau tidak suka, pergilah ke tempat orang lain saja yang suka bersih, ya?" gumamku dengan senyum palsu.

Tanpa kusadari dia sudah masuk. Kau mendengar perkataanku tidak, sih? ucapku kesal dalam hati.

Kuperhatikan dia dengan hati-hati. Dia seolah memandangi seluruh sisi ruangan tanpa terkecuali. Lalu mengangguk-angguk yakin. Dia berjalan ke arah jendela yang melekat di salah satu sisi ruangan. Dengan percaya diri ia menggeser jendela itu. "Lihat! Matahari yang indah, bukan?" katanya dengan nada tinggi tanpa melihatku.

"Sebaiknya kau segera mandi. Aku tak ingin lantai kayu rumah ini berjamur karena air yang kau bawa dengan jubah dan kopermu itu," kataku. Anak itu memandang serius wajahku, lalu berjalan perlahan keluar kamar. "Aku akan buat makan malam. Kali ini mungkin harus masak dengan porsi dua kali lipat. Ikuti aku, setelah dapur, di ujung lorong, ada kamar mandi." Aku berjalan meninggalkannya, tapi, dia mengikuti dengan langkah cepat.

Tamu itu memang merepotkan, jengkel. Kuharap dia tidak seburuk tamu-tamu yang selalu terbayang sifatnya di benakku. Perasaan hati anak kecil ini tidak gampang ditebak. Kadang tersenyum lebar, sedih, atau kadang, bisa sedang merencanakan sesuatu di pikirannya yang kosong itu.

***

Err...Hai!

Terima kasih karena telah sudi membaca cerita saya.

Putar juga dengan video di atas, biar efek kesan ceritanya lebih kuat. Diambil dari https://www.youtube.com/watch?v=k0gsduLrfSU

Sekali lagi terima kasih.

Psychopath ChildTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang