5. Sympathy, Empathy or Love?

Beginne am Anfang
                                    

Lena dan Nata berjalan beriringan menuju kelas, sesekali tawa Lena yang cempreng memenuhi koridor sekolah. Itu semua ulah Nata yang selalu berkata konyol. Lena baru menyadari sisi Nata yang satu ini. Dia kira, Nata adalah pria aneh yang sok misterius nyatanya dia pria yang menyenangkan.

Setelah berhasil duduk ditempatnya, Nata segera mengambil earphone, memasangkan di telinganya dan memilih lagu tak lupa buku pelajaran yang ia buka. Hanya seperti itu cara dia belajar setiap harinya.

"Bro."

Nata melepas satu earphonenya, kemudian dengan satu alis terangkat menatap Dino yang sudah duduk manis di depannya.

"Lo sama Lena?" Tanya Dino, entah sejak kapan ketiga pria yang lainnya datang dan sudah duduk bergerumul memutari meja Nata.

"Belum," jawab Nata cuek lalu kembali fokus pada bukunya sementara yang lain hanya saling melempar pandangan.

Pertanyaan macam apa itu? Nata dan Lena baru beberapa hari dekat. Sampai sekarang Nata juga belum ada keinginan untuk menjadi bagian 'lebih' di hidup Lena.

"Oh ya, jangan lupa latihan futsal. Kemaren kan lo klub."

Nata mengangguk mengerti, setelah itu mereka berempat asyik sendiri menghiraukan Nata yang sudah masuk ke dunianya. Seperti biasa Dino dan Vero menggoda Mirna, Farhan yang sibuk dengan cermin, Grefi yang ngacir ke kantin membeli stok permen karetnya.

••

Sport Hall Indoor, SMAN 90.

Nata menggiring bola, setelah merasa pas pada posisinya dia langsung menendang dan bola melambung masuk ke dalam gawang. Nata tersenyum sumringah, begitu mudahkah?

"Gimana sih! Jaga gawang aja nggak bisa apalagi jaga cewek!" Keluh Vero. Lantaran menurutnya umpan yang Nata tidak terlalu sulit untuk sang kipper menghalau bolanya masuk.

Si kipper a.k.a mas klimis a.k.a Farhan merapikan rambutnya. "Biarin gawang yang kebobolan asalkan dia enggak."

Vero menjitak Farhan membuat pria itu mengaduh, dia merapikan rambutnya lagi.

"Awas aja kalo turnamen masih kayak gini! Gue bakar semua pomade yang lo punya!" Ancam Vero.

Farhan melotot tajam, dia berjalan keluar dari lapangan futsal. Kali ini mereka latihan sendiri tidak ada pelatih karena pelatih sedang ada keperluan di luar kota.

Mereka menyudahi latihannya. Sebagian anak tim langsung pulang, ada yang ke kantin atau berganti pakaian. Saat ini Nata berjalan menghampiri gadis yang sedang duduk sendirian. Menunggunya.

"Nih.."

Nata tersenyum dan menerima minuman isotonik dari gadis didepannya.

"Thanks," ucapnya lalu membuka botol minuman itu. Lena menatap Nata yang tengah meneguk minumannya dengan keringat yang masih bercucuran di dahi dan pelipisnya. Tangan Lena gatal ingin mengelap keringat itu.

"Yuk pulang," ajak Nata. Dia kembali berucap setelah menutup botolnya, Lena membuyarkan ekspektasinya dan mengangguk.

Seperti biasa mereka memakai motor, tidak ada percakapan yang istimewa diantara keduanya hanya pertanyaan-pertanyaan ringan yang Nata lontarkan hingga mereka sampai di depan rumah Lena. Setelah melihat gadis itu memasuki rumah, dia berbelok arah untuk pulang kerumahnya.

Sesampai di rumah, Nata menyimpan motor di garasi. Hendak membuka pintu, terdengar suara gaduh dari tetangga depan rumahnya. Nata menoleh, ke rumah Stevi lebih tepatnya. Dengan setengah berlari Nata memasuki rumah itu, dia berpapasan dengan lelaki paruh baya yang terus berjalan tanpa menghiraukan dirinya yang tiba-tiba datang. Diruang tengah ia menemukan Stevi yang terduduk menangis di samping tangga, dengan sigap dia memeluk gadis malang itu dan mencoba menenangkannya. Stevi terus menangis dipelukan Nata, membasahi jersey futsal yang Nata kenakan.

"Jangan nangis," dengan lembut Nata membelai rambut hitam legam milik Stevi, sementara tangan kirinya masih memeluk hangat gadis itu.

Lima menit dalam posisi seperti itu, Stevi merenggangkan pelukannya menatap Nata yang menatapnya bingung.

"Aku gapapa," suaranya nampak parau. Nata mengangguk ia mengerti bahwa mungkin Stevi belum siap mencurahkan semua kepadanya. Nata membantu Stevi untuk berdiri dan menuntunnya ke kamar.

"Nat, baru pulang ya?" Tebak Stevi, dia lebih nampak tenang sekarang. Dia begitu pintar menyembunyikan rasa sakit dalam hitungan menit.

Nata mengangguk, dia menyelimuti sebagian tubuh Stevi yang sudah berbaring di tempat tidurnya.

"Pantes---" Stevi sengaja menggantung ucapannya, Nata mengerutkan kening menatap gadis itu dengan alis terangkat.

"Bau." Setelahnya Stevi terkekeh, Nata mencubit gemas hidung merah Stevi.

"Tadi aja meluk kenceng sekarang nge hina gitu. Sahabat nggak tahu diri." Sinis Nata.

Stevi tertawa dan berucap maaf pada Nata, pria itu tersenyum dan mengusap kembali rambut gadis itu.

"Udah ya jangan nangis lagi. Aku pergi dulu." Ucap Nata, dia menepuk-nepuk bahu Stevi.

Nata berjalan dan menutup pintu kamar Stevi. Dia berjalan dengan santai keluar dari rumah tak lupa menutup pintu utama dan gerbang rumah Stevi. Dia tahu mama Stevi selalu pulang malam mengurusi butiknya, entah bagaimana ayahnya Stevi berada di rumah dan bertengkar dengan anak gadisnya itu.

••

3 April 2016

Awareness: Is (not) The EndingWo Geschichten leben. Entdecke jetzt