1. Iova dan Kotanya

Mulai dari awal
                                    

Anak lelaki itu menerjang ke depan. Tangannya yang terkepal melayang lurus ke wajah Iova. Namun sayang, Iova menghindar lebih cepat. Angin yang dibawa oleh kepalan itu menampar pipi dan melayangkan helaian rambut Iova selama sedetik.

Iova tersenyum simpul. "Aku percaya itu," katanya penuh percaya diri. Selanjutnya, ia menendang selangkangan Akai dengan kaki kiri.

Si rambut merah merintih. Matanya membesar hampir keluar. Sementara itu, teman-temannya meringis, turut ngilu. Pikir mereka, Pasti sakit sekali.

"I-itu curang." Akai memprotes susah payah. Napasnya tersengal. Padahal kuda-kudanya sudah sangat baik. Namun, dia tidak terima bila dikalahkan dengan trik murahan.

Iova mendengus menahan tawa. "Kau adalah penjahat," kata Iova sembari menyempurnakan posisi kuda-kudanya. Kaki kirinya berada di belakang. "Berbuat curang padamu tak akan menjadi masalah." Dia meluncurkan tendangan ke arah pinggang Akai, terdengar suara buk yang keras. Akai menahan tangis. "Sebab bagaimanapun juga," Iova melirik ke arah teman-teman Akai, "aku tak akan kalah dari para penjahat."

***

Sudah lebih dari dua jam Iova duduk bosan di balik jeruji besi kantor Polisi Distrik Ankara Kota Bawah Tanah. Ruangan itu sempit, hanya ada satu bangku panjang di sisi dindingnya--yang kini diduduki Iova. Dindingnya yang sangat tebal dibuat dari tanah berkualitas, kau bisa tahu dengan mencoba mengetuk-ngetuknya: suara yang dihasilkan teredam sempurna.

Bibir Iova manyun. Kedua tangannya terlipat ke depan. Ada beberapa plester luka melekat di lengan serta betis dan pahanya.

Tak jauh dari Iova, lima anak lelaki yang tadi dihajarnya duduk berdekatan. Kondisi mereka tidak lebih parah dari Iova--setidaknya Akai tidak meringis lagi. Mereka membicarakan hal-hal yang berbau kelaki-lakian: mulai dari acara TV sampai cewek cantik nan seksi. Padahal, usia mereka tidak terpaut jauh-jauh amat dari Iova, yang sebulan lalu baru menginjak lima belas tahun. Akan tetapi, tak ada satu pun topik pembicaraan itu yang benar-benar Iova mengerti.

Mungkin mereka menggunakan kode rahasia. Siapa tahu mereka merencanakan pembasmian pahlawan, pikir Iova. Sikunya menempel di atas lutut dan tangannya menopang kepala. Padahal dia hampir menyesali perbuatannya karena membuang-buang waktu minggu paginya yang berharga, tetapi melihat para penjahat itu di depan membuat Iova ingin melakukan sesuatu agar mereka jera, sekalipun kini mereka sedang berada di kantor polisi.

Anak lelaki berambut merah mengedikan kepala ke arah Iova yang diikuti tawa dari teman-teman kelompoknya. Setelah itu mereka berlima kembali mengobrol, tetapi kali ini sambil berbisik-bisik. Sesekali mereka melirik-lirik sang pahlawan, yang hanya bisa duduk memandangi mereka.

Merasa tersinggung, Iova berniat angkat bicara lagi. Dia sudah membuka mulutnya untuk mengambil napas. Namun, seorang polisi dengan topi fedora muncul dan memanggil namanya.

"Iova Surahan! Bibimu sudah datang." Polisi itu bernama Chasire Flitch. Iova sudah mengenalnya sejak masih kecil. Chasire adalah sahabat bibi Iova sejak masa sekolah.

Iova memutar mata. "Bisakah ditunda, Chasire? Aku ada urusan penting."

"Lebih penting dari misi kepahlawananmu, Iova?" Akai berujar lambat-lambat yang diikuti kekeh teman-temannya.

"Urusan dengan kalian bukan misi lagi, tetapi tugas rutin."

"Keren banget," ujar kelima anak lelaki mencibir bersamaan, lalu terkekeh-kekeh lagi. Iova mengerucutkan bibir.

Chasire batuk sekali. Mungkin dia tidak ingin kehadirannya sebagai polisi terabaikan. "Ayolah anak-anak. Kalian harus jera masuk sel ini hampir setiap hari." Lelaki itu berkacak pinggang. Tingginya yang menjulang membuat leher Iova sakit sebab terus-menerus mendongak. "Sebaiknya kaupergi sekarang, Iova. Bibimu menunggu di depan."

Another Way to Destroy The WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang