ENAM

923 68 41
                                    

Seperti biasanya, pagi ini aku melangkahkan kakiku ke ruangan yang tertera tulisan X IPA 5 di atasnya. Aku tidak tau mengapa, namun aku memiliki firasat buruk. Rasanya aneh, tidak seperti hari-hari sebelumnya.

Entahlah, mungkin bawaan hormon di saat-saat tertentu.

Aku masuk ke dalam ruang di balik pintu kelasku. Hari ini tidak ada kertas warna-warni seperti biasanya, tidak ada cokelat juga, dan hari ini papan tulis juga tidak kotor karena coretan Aby.

Apa yang salah?

Mungkin aku merasa kehilangan.

Tidak, Kei. Aku tidak merasa memiliki dia, namun kenapa aku bisa merasa kehilangan dia?

Karena pada dasarnya, sesuatu terasa hilang karena pernah menjadi milik kita kemudian lenyap begitu saja.

Nyatanya, Aby bukan milikku.

Faktanya, Aby bukan siapa-siapaku.

Lalu, untuk apa aku merasa kehilangan?

Tenang, Kei. Ini hanya sementara. Pada akhirnya, rasa itu akan hilang dengan sendirinya. Yang perlu aku lakukan adalah melangkahkan kakiku ke depan. Cukup, itu saja.

Tidak lama kemudian, Aby datang memasuki kelas. Dan dia tidak menyapaku. Untuk sekedar melirik ke arahku pun tidak. Entah mengapa, aku tersenyum miris. Senyuman yang biasa aku gunakan untuk menutupi rasa sakit. Senyuman yang aku gunakan untuk menertawakan nasibku sendiri. Ya, senyuman itu.

"Lo kenapa, Kei?" tanya Athena yang berada di sampingku.

"Gue... gue nggak apa-apa," balasku kemudian tersenyum untuk sekedar meyakinkan Athena bahwa aku baik-baik saja.

Athena melirik laci mejaku, kemudian melirik papan tulis penuh arti. "Nggak dapet sapaan dari Aby?"

Aku mengangguk. "Seharusnya gue seneng, Athena. Tapi, gue bingung perasaan apa ini namanya."

"Lo... merasa kehilangan?" tanya Athena lagi. Kali ini, tebakan dia mungkin sempurna.

Aku mengangguk. "Sepertinya begitu."

"Kei, lo suka sama Aby?"

Aku tersedak. "Ap--apa?" setelah benar-benar yakin dengan pertanyaan Athena, aku buru-buru menggelengkan kepala.

"Lalu, kenapa lo merasa kehilangan?"

"Gue nggak ngerti, Athena. Gue..." aku sendiri tidak tau mengapa aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku.

"Kalo gue lihat, kalian berdua saling suka, Kei. Terus, kenapa bisa kayak gini?"

Dengan cepat aku menggelengkan kepalaku. "Aby nggak suka sama gue, dia cuma bercanda."

"Bercanda tapi sampe segitunya?"

"Gue nggak ngerti, dia yang ngasih harapan, atau gue yang terlalu berharap."

"Damn! Siapa yang nggak baper kalo ada orang yang sikapnya kayak Aby? Kalo gue jadi lo, gue bakal baper sebaper bapernya sama Aby."

Aku hanya tersenyum miris mendengarnya. "Gue kira awalnya gue biasa aja karena gue selalu ngeyakinin diri gue kalo dia bercanda. Tapi... tapi keyakinan gue mendadak goyah sendiri. Gue nggak ngerti."

Athena memegang bahuku, kemudian tersenyum kepadaku. "Gue dukung lo, apapun pilihan lo. Lebih baik, lo samperin dia sekarang."

Aku meyakinkan diriku sendiri. Butuh berjuta-juta kali lipat kekuatan untuk menghampiri Aby. Hanya sekedar menyapanya pun tubuhku mendadak menegang.

Aku menghampiri Aby yang berada di bangku paling depan. "Ha--hai, Aby," ucapku gugup.

Aby menoleh ke arahku. "Hai," balasnya dingin.

Lucu ya, dulu kita pernah menghabiskan waktu bersama, bercanda dari pagi sampai malam tidak mengenal waktu, sekarang kita dihadangkan pada kenyataan bahwa kita seperti tidak saling mengenal satu sama lain.

Yang jelas, aku merasa kehilangan.

False HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang