TIGA

1.2K 78 43
                                    

Sekarang, di sinilah aku. Di pantai yang sejauh mata memandang menyuguhkan pemandangan yang sangat indah. Pasir putih di mana-mana, kemudian air jernih kehijau-hijauan membuat imajinasiku berselancar terbawa arus ombaknya. Lalu harus aku akui juga, panasnya terik matahari terkalahkan oleh sejuknya air laut yang dingin.

Ternyata, kabur di jam pelajaran terakhir bersama Aby tidak seburuk yang aku bayangkan.

Aku duduk di hamparan pasir putih yang bersih dan tidak ada satu pun kotoran di sini. Di sampingku ada Aby yang sedang menatap lurus lautan, seakan imajinasinya juga ikut hanyut bersama ombak-ombak yang datang mendekat.

"By."

Aby menoleh ke arahku. "Kenapa, Bidadari?"

Aku masih tetap menghadap ke arah laut. "Lo sering ke sini?"

Aku mendengar suara dia tertawa. Tertawa miris lebih tepatnya. Aku menoleh ke arahnya. Kemudian aku melihat dia menatapku dalam dengan tatapan sangat terluka. Dia bukan Aby yang biasanya. Dia bukan Aby yang aku kenal.

Tunggu, sejak kapan aku mulai sok tau tentang bagaimana Aby?

Tatapan sendu yang dia kirimkan lewat isyarat matanya mampu membuatku merasakan apa yang dia rasakan. Yang aku tangkap dari tatapan matanya, dia berada di sini ketika dia tidak sedang baik-baik saja.

"Ma--maaf," aku menunduk. Aku menyesal bertanya seperti itu. Aku pikir, aku hanya membuat luka kering yang telah lama Aby simpan jauh di dalam lubuk hatinya kini basah kembali. "Tapi kalo lo pengen cerita, gue di sini."

Aby mengelus kepalaku. Aby yang menyadari aku kedinginan langsung melepas jaket yang dia kenakan lalu memakaikannya padaku. "Makasih," ucapku singkat.

"Anytime, Bidadari," dia tersenyum kepadaku. Mungkin ini senyuman paling tulus yan pernah dia berikan kepadaku.

"Udah lah. Jangan mellow-mellowan di sini. Happy-happy aja yuk?"

Aby menatapku sekilas. Mungkin, dia tidak mengerti mengapa aku tiba-tiba mengajaknya bersenang-senang. Baiklah, Aby. Masuklah ke dalam permainanku!

Aku mulai bangkit, melangkahkan kakiku dengan cepat. Hingga akhirnya aku berlari kecil kemudian menengok ke belakang. "Kejar gue, By, kalo bisa!" teriakku yang langsung berlari secepat mungkin.

Aku lihat Aby sudah mulai berlari mengejarku. Baguslah, dia tidak terlarut-larut pada kesedihannya yang tak berujung itu.

"Aduh."

What the fucking hell. Akibat terlalu banyak menoleh ke belakang, aku sampai tersandung oleh batu yang agak besar. Sakit, perih rasanya. Sampai-sampai kakiku mengeluarkan darah, meskipun hanya sedikit.

"Tuhkan. Makanya jangan lari-larian!" ucap Aby saat sampai di sampingku.

"Ya maaf, gue kan nggak tau kalo bakal kayak gini."

Aby mengulurkan tangannya padaku. Aku menatap nanar uluran tangan itu. "Gue nggak bisa berdiri, By," aku lihat Aby tampak berpikir sebentar. Setelah itu, aku tidak menyangka bahwa dia membopongku.

"By, turunin!" perintahku, namun diabaikan oleh Aby.

"By, gue berat tau!"

Aby menatapku kesal. "Ya terus kalo kamu berat kenapa?"

Aku melihat sekeliling. "Malu, By, dilihat banyak orang."

"Kei, kaki kamu luka. Kita balik ya ke motor, gue bawa betadine," dan aku hanya bisa mengangguk pasrah.

***

"Aduh, By! Perih tau!" erangku kemudian menjambak rambut Aby.

"Aby! Pelan-pelan bisa nggak?"

"Sabar, Bidadari. Bentar lagi lukanya ketutup kok. Bentar lagi ya, sabar. Nah, ini udah selesai."

Aku mulai berdiri, mencoba berjalan walaupun hanya pincang-pincang. "Sakit?" tanyanya. Aku menoleh ke arahnya. Tersenyum kecil kemudian menggeleng.

"Pulang ya, Kei? Gue anterin."

Aku mengangguk ketika Aby menatapku penuh harap saat menawariku untuk mengantarkanku pulang. Lagipula, tidak ada angkutan yang datang ke sini, bukan? Maka dari itu, aku terima tawaran pulang diantar Aby.

Aby menaiki motornya, lalu disusul olehku. "Pegangan, Bidadari. Jangan sampe jatuh ya."

Namun aku hanya memegangi baju yang dia kenakan. Tidak seperti adegan-adegan romantis di FTV ataupun sinetron yang si cewek melingkarkan tangannya di perut cowoknya. Membayangkannya saja perutku sudah mual, apalagi melakukannya. Terlebih lagi bersama Aby.

Sudah sepuluh menit kita melaju di atas aspal menggunakan motor Aby, aku baru sadar jika ini bukanlah jalan menuju rumahku. "By, kita mau ke mana?"

"Nggak perlu khawatir, lo aman kok kalo sama gue."

Aku memilih untuk diam sampai Aby menurunkanku di depan salah satu pusat perbelanjaan ini.

"Ngapain lo ngajak gue ke sini?" tanyaku. Kita masih mengenakan seragam yang agak kotor karena seharian bermain di pantai. Baju yang kita kenakan sudah lusuh seperti ini, dan dia mengajakku ke sini?

Yang ingin aku pertanyakan adalah dia ingin menghiburku dengan mendatangkanku ke sini atau mempermalukan aku dengan mendatangkanku ke sini? Siapapun, tolong jawab.

Seolah mengerti dengan pertanyaanku yang kusimpan rapat-rapat dalam hati, dia bertanya. "Kamu malu?" aku mengangguk.

"Kei, apa yang kamu permaluin? Jaket aku aja masih kamu pakai. Jadi?" Aby menaikkan satu alisnya.

"Tapi, gue nggak bawa uang, By."

"Kita cuma mau makan kok, gue yang bayar," tanpa menunggu persetujuanku, Aby langsung menggandeng tanganku, mengitari pusat perbelanjaan yang lumayan luas ini kemudian kita berhenti di salah satu kafe yang berada di dalam pusat perbelanjaan tersebut.

"Mau makan dan minum apa?" tanyanya ketika aku duduk di salah satu kursi kafe tersebut.

"Nasi goreng sama orange juice aja."

Setelah aku menyebutkan pesananku, Aby langsung antri memesan makanan. Tidak banyak antriannya karena pelayanan di sini lumayan cepat bila kuperhatikan. Maka dari itu, tidak lama kemudian Aby kembali ke sini, duduk di hadapanku.

"Kei, tau nggak kenapa gue sering jailin lo?" Aby membuka pembicaraan.

"Why?" tanyaku.

"Kamu lucu kalau lagi marah-marah gitu," dia tertawa kecil, bahkan aku tidak yakin kalau dia tertawa.

Siapapun, tolong. Aku merasakan rasa hangat menjalar di sekitar pipiku. "Bodo amat, By, bodo amat. Gue tau lo fans gue, makanya lo ngintilin gue mulu kan."

"Gue sayang sama lo," ucapnya tiba-tiba.

Aku sempat kaget beberapa saat, namun aku kembali menentralkan reaksiku. Jangan baper, Kei, dia hanya bercanda. "Iya, gue juga sayang kok sama diri gue sendiri."

"Ih masa gitu. Harusnya kan lo bilang gini; 'Iya, By. Gue juga sayang sama lo' gitu," ujarnya kemudian menekuk wajahnya.

"Lo aneh, By. Kalo yang disayang gue, harusnya gue juga bales sayang gue juga dong. Jadi, yang bego siapa?" tanyaku dengan tertawa miring.

"Udah gue duga, gue akan selalu kalah kalo debat sama lo, Kei."

"Iya, karena pada dasarnya, cowok emang harus ngalah," ucapku yang merasa puas karena memenangkan perdebatan ini.

"Karena sudah menjadi hukum alam, lelaki sekuat apapun akan takluk di tangan wanita dan cinta," balasnya lalu menatap lembut ke arahku.

Tidak lama kemudian, pelayan kafe ini datang, menyerahkan dua nasi goreng dan orange juice. "Nasi goreng dua dan orange juice dua. Apa ada pesanan lain?"

"Tidak, terima kasih," kata Aby kepada pelayan tersebut.

Sebelum aku menyantap makanan lezat di hadapanku saat ini, aku melihat Aby mulai makan dengan lahapnya. "By, thanks for today."

False HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang