BAB X

5.7K 320 1
                                    

Maria POV

"Sampai ketemu lagi, David," kataku dengan refleksnya.

Aku mendadak panik. Kok bisa-bisanya aku menyapa David saja bukan Pak David. "Maaf, maksud saya, sampai ketemu di kafe Rainbow jam 6 sore, Pak David," koreksiku sambil menekankan di kata-kata 'Pak'.

"Aku kok bisa kaya orang linglung gini ya," kataku dalam hati.

Yang punya nama David Setiawan kan nggak cuma satu orang, bisa jadi Pak David itu bukan David yang aku tahu. David teman sekolahku dulu yang tanpa disadari membuat luka batin di hatiku. Aku masih sedikit 'dendam' dan menyalahkannya atas kecelekaan yang menimpa ayahku. Memang ayah tidak mengalami luka serius akibat kecelakaan itu. Tapi tetap saja, bagiku ayah sangat berarti, dan tidak boleh ada yang melukainya.

"Gimana jawabannya?" tanya Bu Yosi yang membuyarkan lamunanku.

"Nanti saya mau ketemu saya Pak David jam 6 di cafe Rainbow, Bu."

"Syukurlah. Semoga diterima kerja disana ya. Oiya, ponakan saya masih single loh," kata Bu Yosi sambil tersenyum penuh arti.

"Ooo...." Aku binggung harus menanggapi apa.

"Kalo tidak salah kalian seumuran deh, malah satu sekolah juga. Dia kan cucu pemilik yayasan sekolah kamu," Bu Yosi memberi penjelasan.

"Ooo, David yang itu," kataku sambil berusaha menahan emosi.

"Jadi kalian sudah saling kenal ya. Baguslah pasti bisa langsung diterima, apalagi kamu kan lulusan S2 juga ada pengalaman jadi dosen." Bu Yosi bener-bener mendukungku dengan tulus.

Sosok Bu Yosi inilah yang sering aku jadikan sebagai pengganti ibu setelah ibu tidak meninggal dunia. Aku masih mengingat betapa perhatiannya Bu Yosi terhadapku dan ayah juga. Selain memberi kesempatan padaku untuk bekerja dengannya, seringkali Bu Yosi memberikan makanan atau jajan untuk aku bawa pulang. Bu Yosi tahu betul kalau aku tidak suka dikasih uang secara langsung, karena aku menganggapnya sebagai bentuk belas kasihan bukannya perhatian. Harga diriku masih terlalu tinggi, walaupun aku miskin dan tidak punya apa-apa, paling tidak aku masih punya harga diri.

"Oiya, kamu mau tinggal dimana?" tanya Bu Yosi lagi.

"Saya belum kepikiran, Bu," jawabku dengan jujur.

"Ibu kasih saran, kamu jangan tingan di rusunwa lagi. Kondisinya sekarang berbeda dengan 10 tahun lalu. Bangunannya sudah agak rusak, kondisinya juga tidak sekokoh dulu, lingkungannya sangat kotor, dan yang paling tidak bagus adalah penghuninya. Kebanyakan sekarang yang menghuni rusunwa itu orang-orang yang tidak baik," jelas Bu Yosi panjang lebar.

"Terima kasih infonya, Bu Yosi," ucapku dengan tulus. Aku sangat berterimakasih atas perhatiannya.

"Apa kamu tinggal sama ibu saja?" Bu Yosi menawari aku untuk tinggal di rumahnya. Suami Bu Yosi sudah meninggal cukup lama, sekita 15 tahun yang lalu dan tidak dikaruniai anak. Itulah yang membuat Bu Yosi sangat peduli dengan anak-anak, termasuk pendidikan mereka. Sehingga Bu Yosi membuat semacam les gratis untuk anak-anak kurang mampu. Untuk biaya operasional dan gaji mengandalkan donasi dan tentunya uang pribadi.

"Saya masih ada uang simpanan, Bu. Nanti saya cari kost-kostan saja, saya tidak mau merepotkan."

"Tapi kamu kan butuh tempat tinggal sementara. Pasti kamu belum ada pandangan mau cari kost dimana. Saudara pun kamu tidak ada di kota ini kan? Kamu bisa tinggal di tempat ibu dulu. Nanti kalau kamu sudah dapat pekerjaan bisa cari tempat kost yang dekat dengan tempat kamu kerja."

"Terima kasih banyak, Bu. Saya akan tinggal sementara di sini sampai saya mendapat kerja dan tempat kost. Tapi saya akan bayar, itung-itung uang sewa."

RUNAWAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang