-Satu-

57 5 0
                                    

Aku menelan ludah dengan susah payah. Kulirik terus saku celananya.

Kutatap wajahnya dan saku celananya secara bergantian.

"Bolehkah aku duduk disini?" tanyanya lagi.

"Silakan saja. Aku sudah selesai. Permisi," pamitku langsung melangkah menjauhinya.

"Wow, wow, wow. Tunggu dulu, Nona. Mengapa Anda terburu-buru? Anda bisa duduk kembali dan kita bisa berbincang sebentar," ujarnya. Aku menghentikan langkahku, dan berbalik.

"Maaf, tetapi saya ada urusan mendadak," jawabku berbohong.

"Urusan mendadak, hm? Ayolah, aku tahu kau berbohong, Nona."

"Maaf, tetapi saya benar-benar ada urusan," sergahku sambil melirik saku celananya. Seakan ia mengetahui apa yang kulirik, kini ia tersenyum miring.

"Wah, wah, wah. Ada yang sedang ketakutan rupanya. Kemarilah dan akan kutunjukkan apa yang kubawa," ujarnya menarik lenganku. Dengan terpaksa aku menuruti keinginannya.

"Jadi, apa maumu?" tanyaku menahan napas.

"Oh, ayolah. Kau tak perlu ketakutan begitu. Ini hanyalah gunting untuk memotong kuku jariku," sahutnya seraya menunjukkan sebuah gunting dari sakunya.

Aku menghela napas.

"Nah. Tidak ada yang perlu ditakutkan, kan, Nona? Jadi, bisakah kita berbincang sebentar?" tanyanya.

"Yah, mungkin kau bukan orang jahat. Tetapi kita tidak saling kenal. Jadi, tak seharusnya aku mengobrol denganmu."

"Oh, begitu ya? Bagaimana jika kita berkenalan lebih dahulu," sahutnya.

"Perkenalkan, aku Jeremy. Seorang mahasiswa semester 4. Rumahku tak jauh dari sini. Dan aku baru pindah ke kota ini sekitar 2 minggu yang lalu. Bagaimana denganmu?" lanjutnya memperkenalkan diri.

Aku tersenyum.

"Namaku Caline. Seorang mahasiswi juga, semester 4 juga. Rumahku cukup jauh dari sini. Aku seorang warga tetap."

"Oh ya? Kau kuliah dimana?" tanyanya.

"New York University. Kau?"

"Wah, kita punya banyak kesamaan rupanya."

"Tidak!" sergahku.

"Apa maksudmu? Benar kan, kita punya banyak kesamaan?"

"Tentu tidak. Aku perempuan, dan kau laki-laki. Apa itu yang dikatakan sama?" Lalu, aku pun tertawa.

Kami membicarakan banyak hal. Banyak yang kuketahui tentang Jeremy setelah ia menceritakannya.

Ia pribadi yang lucu dan sangat mudah bergaul. Mungkin kami akan berteman baik nantinya.

Namun, ada yang tak kuketahui tentang dirinya.

Ia tak menceritakan kedua orangtuanya, ataupun kehidupan lamanya. Meski aku sudah memaksanya dengan menceritakan kehidupan lamaku, ia tetap tidak mau menceritakannya.

Tanpa kusadari, semua mata di kafe ini tertuju padaku. Seakan, mereka bertanya,

"Dia sedang bicara dengan siapa?"

***

Black CoffeeWhere stories live. Discover now