10. Gue Lihat Lagi

221 19 0
                                    



"MANA?! AMBILIIN." Angga keliatan gelagapan, dan itu membuat gue ...terhibur. jahat amat gue. "PEAA, MANA? LU MALAH KETAWA LAGI."

"Jijik lah gue ambilin juga."

"INI?!"

"Iya itu. Apaan sih?"

"Ini daun doang, Pea. Dasar." Angga membuangdaun itu lalu ... ketawa, yang kemudian membuat gue ketawa juga. Kita ketawabareng, yang kemudian membuat gue ... lupa kalo gue mau ke kosnya ... Rashid. 

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

10. Gue Lihat Lagi


Entah kenapa gue malah ketawa-tiwi bareng Angga ini. Padahal tadinya gue super empet sama dia, tapi ternyata dia gak terlalu buruk juga. Yah sepertinya gue musti bersyukur juga dengan daun yang gue anggep e'ek itu karenanya gue bisa deket sama Angga dan gak berpikir macem-macem lagi.

"Pea, Lu. Ngagetin gue aja," ucap Angga.

"Ya kirain aja e'ek gitu. Kuning-kuning gak jelas soalnya."

"Lu tuh yang gak jelas, Pea." Angga menorehkan wajahnya ke gue. "Lu tuh mau kemana sih sebenernya? Di sini tuh kosan mahasiswa semua."

"G-gue," tergugup gue menjawab pertanyaan Angga tadi. Apa gue musti jujur kalo gue mau ke kos ... Rashid? Terus dia bakal mikir apa ya kalo tahu gue mau ke kos cowok. "mau ke kos ... t-temen. Iya temen," ucap gue mencoba agar Angga tidak curiga dengan menegaskan kata 'temen' itu.

"Oh," Angga mengangguk-angguk. "Dimana?"

"Katanya sih Kalmong gang jengkol." Gue mencoba mengingat-ingat perkataan kaka pengurus bimbel itu yang nunjukin alamat kos Rashid.

Angga menghentikan langkahnya lalu menatap gue dengan tatapan you don't say. "Kan lu Pea. Gang jengkol udah kelewatan jauh noh."

"HEE?!?!"

.

.

Ishh Angga. Bilang kek dari tadi. Ah gue jadi puter balik, kan. Duh,nih mana lagi kosnya si silent fortress. Duuh.

Gue masih berjalan menyusuri jalanan yang masih becek ini. Gang demi gang yang tadi sudah terlewati kini musti gue lewati ulang, puter balik. Mau bagaimana lagi, ini demi aa Rashid. Aseek. Plak. Tapi ini di mana ya? Dari perkataan kakak-kakak yang di bimbel itu sih katanya kosnya warna biru gitu. Namanya juga ... kos elang kalo gak salah.

Duh, abang. Kosmu di mana, bang? Kaki dedek udah gak mau kompromi lagi nih.

Seketika gue lihat tempat yang sepertinya gue tuju, kos elang. Ya gue gak begitu yakin sih takutnya salah. Tapi ... masa iya itu bukan kos elang sedangkan plang namanya tertulis kos elang. Jayus. Abaikan.

Hati dan pikiran gue mulai memberontak. Gue siap? Gue ... berani? Pikiran-pikiran penyemangat tadi sewaktu gue kekeh banget untuk pergi ke kosnya Rashid runtuh seketika. Antara mau dan gak mau mulai berebut masuk ke logika gue.

Jadi gak ya? Ga jadi deh? Eh jadi deh. Eh enggak deh. Arghhh.

Tuut

Sebuah klakson motor membuyarkan lamunan gue, dan kebimbangan gue. Gue mengerjap pelan lalu menepikan diri gue, dan kalo bisa menepikan pikiran-pikiran negatif gue lalu memunculkan tekad gue yang tadi sempat membara untuk mengunjungi kos Rashid.

Bisa, Gi. Lu bisa.

Kaki gue perlahan bergerak, entah secara sadar atau tidak karena gue sekarang malah fokus sama jantung gue yang mulai berderang kencang se kencang sewaktu gue dipanggil guru killer untuk maju ke kelas, atau bahkan lebih. Semakin dekatnya gue dengan kos elang, semakin gugup gue, semakin basah gue karena keringat dingin gue, tapi semakin juga gue kuatkan tekad gue ketemu Rashid. Apalagi, sayup-sayup gue mulai mendengar suara renyah Rashid yang udah berapa hari ini enggak gue denger lagi. Gue mulai mempercepat langkah kaki gue. Semakin dekat, dan semakin kentara suara yang gue rindukan. Aseek.

Orang yang gue rindukan (?), orang yang gue lukai hatinya kemaren-kemaren (?) kini hanya berjarak antara teras yang gak begitu lebar dan palang pintu. Orang itu, Guru les itu, Abdan Rashid Ilhamirosah, ada di sana, di dalam kos sana. Rasanya gue udah seneng walau cuma liat punggunggnya dia, walau cuma denger suara renyahnya yang baru sekarang gue ndegerin dia ketawa sebegitu lepas. Rasanya ... bibir gue juga mengembang. Rasanya ... mata gue sedikit berbinar-binar.

Rashid, lu kalo kaya gini kelihatan ganteng tau.

"Masuk aja, Mbak." Sebuah suara yang mendarat mulus di telinga gue membuat gue terperanjat. Nampaknya, orang di dalam, termasuk Rashid mendengar suara orang tadi sehingga ia juga melirik ke arah luar, ke arah gue.

Mata gue dan matanya yang sedang tidak dibatasi lensa kacamata bertemu. Gue sekarang bisa lihat dengan jelas maniknya secara langsung, maniknya tegas dibalut karakter dirinya yang dingin, kini gue bisa melihatnya dengan jelas.

Kami masih terdiam dalam lamunan masing-masing, yang jelas gue gak tau apa yang dilamunin Rashid, tapi yang gue lamunin, adalah sosok yang dulu pernah hinggap di DP milik Rashid dan kini gue bisa melihatnya secara langsung. Lamunan sosok itu perlahan menghilang seiring gue lihat Rashid mengerjap beberapa kali dan kemudian ... dia lari ke dalam, entah ke kamarnya mungkin.

Gue salah sebesar apa sampai sebegitunya dia lari dari gue?


--To be continued--


-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

apdet lagi. HAHAHAHA. mumpung lagi liburan.

gimana-gimana? kalian CCC, 'kan?

nah ini pertama kalinya aku  apdet secepat ini, so ... jangan lupa vomment yo.

oh iya, btw ini chap-chap terakhir. mungkin chap selanjutnya bakalan tamat nih guru les /gebukin risqi/

tunggu aja deh ya.


Jum'at, 4 Maret 2016

Guru LesHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin