1 : Labirin

27.1K 777 32
                                    

Atas nama persaudaraan, bukan perasaan.
-Aisy El-Khadij-

Hidup memang rumit, tapi tak segamang melalui sebuah Labirin.
Kenapa? Karena tiada jalan yang buntu layaknya Labirin ketika kepasrahan telah utuh ditujukan pada Tuhan.
Begitu pun Aisy, gadis yang tak lelah berpasrah, sesal apalagi menyerah.

***

"Ayi, ini loh hp kamu dari tadi teriak-teriak dari kamar. Ada yang nelpon nih," teriak bunda yang tergopoh menghampiri Aisy. Suara Bunda timbul tenggelam, bersaing dengan deru mixer yang sejurus kemudian dimatikan.

"Makasih, Bun." Aisy meraih ponselnya, melirik sebentar ke layar. Nomor tak dikenal. Keningnya berkerut samar.

"Assalamu'alaikum," sapa Aisy.

"Wa'alaikumussalam. Maaf sebelumnya, apa benar ini nomor mbak Aisy?!"

Kening Aisy kembali berkerut. Ekor matanya menerawang. Mengingat empunya suara bariton diseberang. Tapi nihil.

"Maaf. Hallo?"

Aisy terkesiap.
"Ah, i-i-iya... benar, saya Aisy. Maaf, ada apa ya?"

***

Beginilah Aisy. Pikirannya mulai tak fokus pada adonan kuenya bila ada hal lain yang mengganggu fokusnya tersebut. Sebab utamanya tentu setelah mendapat telpon dari ikhwan yang mengaku bernama Zaky dan mendapatkan nomornya dari rekan di rohis kampusnya.

Ketika Aisy bertanya bagaimana bisa, ikhwan tersebut hanya memberi clue singkat, bahwa ia pernah menjadi salah satu peserta sebuah acara yang diadakan oleh rohis kampus Aisy tahun lalu.

Singkatnya, ikhwan tersebut ingin rekreasi bersama keluarga ke sebuah taman Labirin yang terkenal di kota Aisy. Dan ia mendapat info bahwa tempat tersebut dekat dengan tempat tinggal Aisy.

Jadilah kini Aisy menjadi guide dadakan.

***

Setengah jam berlalu setelah Aisy menyebutkan ciri-ciri rumahnya pada Zaky. Rasanya, tindakan Aisy sudah tepat untuk memberhentikan para Pelancong dari bagian Tengah Kalimantan itu dirumahnya. Mengingat Labirin yang dituju itu melewati rumahnya.

Sekali lagi diliriknya jam tangan. Mengingat lokasi terakhir yang disebutkan Zaki, harusnya sih saat ini mereka sudah tiba, batin Aisy.
Ponsel Aisy berdering. Panjang umur.

"Hallo. Assalamu'alaikum..."

"Wa'alaukumussalam. Maaf, mbak Aisy. Sepertinya ini kami kelewatan rumahnya mbak Aisy."

"Jadi sekarang posisinya dimana? "

"Kami menepi di sisi jalan mbak. Jalannya satu jalur. Nggak jauh dari persimpangan."

Aisy ngangguk-ngangguk. Mencerna.
"Tunggu disana saja. Biar saya susulin. Assalamu'alaikum."

Sejurus kemudian tangannya dengan lihai meletakkan adonan kue di oven. Setelah mengatur suhunya. Ia bergegas pergi. Hatinya sempat gusar, semoga saat datang nanti ia masih sempat menyelamatkan kuenya. Tidak keburu menjadi arang. Jadi ia tak perlu mengulang membuat pesanan tetangganya di hari libur seperti ini.

LOVE GUIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang