Part 5

58 11 0
                                    

Argon

"Comment lo gak bisa kerenan dikit apa?" Armi memprotes begitu membaca comment dari gue yang muncul di video cover-an terbarunya di YouTube.

"Taro 'suara vokalisnya bagus, bikin merinding' kek." Raden, si vokalis dari bandnya Armi itu ikut memprotes gue.

"Gak ah. Nanti gue dikira hom―"

Belum selesai gue bicara, handphone gue direbut Armi. Lalu anak-anak sialan itu membajak akun gue, demi mendapat komenan terbaik.

Ya... Tapi masa bodolah.

Abisnya gue bikin akun YouTube aja disuruh Armi, biar gue gaul katanya.
Walaupun ujung-ujungnya, dia sendiri yang maksa gue buat meng-upload video keseharian bandnya.

Licik banget, kan? Mereka kayak kekurangan penggemar.

Eh tapi gue rasa emang kekurangan sih.

"Nih." Setelah puas mengutak-atik akun YouTube gue, Bintang akhirnya mengembalikan handphone gue diiringi cengiran lebar.

Gue jadi penasaran, abis ngedosa apa dia.

Mata gue segera melihat layar handphone yang ternyata masih tertinggal di halaman YouTube. Disitu terlihat kolom comment-an video mereka isinya penuh sama akun gue yang rata-rata bahasanya dangdut.

"Keren banget aduh!"

"Bikin jatuh cinta."

"Suaranya bagus, bikin merinding."

"Gitarnya mengalun lembut banget bikin gue terpesona."

"Tai banget nih." Gerutu gue seraya menyimpan handphone, malas menghapus comment semi-semi homo tersebut.

Tapi gue akui video mereka yang baru diupload itu emang bagus sih. Mereka nyanyiin salah satu soundtrack dari film animasi Disney, tapi gue lupa judulnya, padahal gue pernah ngeliat mereka latihan ngebawain lagu itu beberapa kali.

Eh jangan kira kalau gue juga gak pernah pengen kayak mereka.

Dulu, waktu kelas empat SD, gue sempet belajar nyanyi.
Tapi suara gue pas-pasan.
Pas tinggi gak nyampe, pas rendah gak nyampe juga.

Lalu, Ayah akhirnya masukin gue ke tempat les piano barengan sama Armi, supaya gue gak perlu mengeluarkan suara yang pas-pasan itu.
Tapi ternyata tempo gue acak-acakan.
Nyanyi kemana, piano kemana.

Kata Armi, tangan gue kasar―bukan kasar semacam tukang ngaduk semen. Tapi katanya gue memang gak punya jiwa seni, yang rata-rata isinya orang dengan tangan halus. Makanya gue akhirnya keluar dari hal-hal berbau seni demi mencari passion gue sendiri.

Tapi meskipun begitu, gue tetep gak merasa ada diluar lingkaran selama gue gabungnya sama anak-anak FF. Seenggaknya itu membuat nasib gue terselamatkan. Kalau enggak ada mereka, gue pasti akan susah bersosialisasi, dan mungkin akan berakhir menjadi gamers atau hikikomori.

Hm. Ternyata emang segitu besarnya, peran anak-anak FF di hidup gue.

"Eh, anak-anak ibu udah pada ngumpul ternyata." Tanpa gue sadar, ibu tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu sambil menjinjing tas berisi kertas-kertas.

Gue bisa tebak, itu kertas jawaban atau soal-soal ulangan.

"Udah pulang, Bu?" Armi bertanya, si monyet itu emang care banget kalau ada orang datang.

"Udah." Ibu lalu berjalan mendekat, disalami anak-anak FF dan gue juga tentunya. "Ibu ke kamar dulu ya."

"Iya. Istirahat yang cukup ya, Tante." Raden dadah-dadah layaknya fans ditinggal idola.

Ibu hanya tersenyum, tapi kemudian pandangannya beralih ke arah gue seperti meneliti.

Ada yang salah? Gue merasa gak punya kesalahan apapun hari ini.

Baru aja gue berniat untuk bertanya, ibu sudah membuka pembicaraan lebih dulu. "Argon, tadi pulang sama siapa?"

Gue agak mengernyit, lalu sedetik kemudian menjawab. "Sendiri, Bu. Kenapa?"

"Oh..." ibu mengangguk samar. "Enggak apa-apa kok, ibu cuma nanya. Abis tadi anak-anak di sekolah heboh soal Arsenia dibonceng laki-laki pakai motor ninja hitam. Ibu kira itu kamu." Lanjutnya seraya berjalan memasuki kamar.

"Cie. Arsenia." Bintang melirik gue dengan memasang senyum lebar.

Anjir.

Gue heran kenapa anak-anak Nusantara hobby-nya gosip semua.

***

Jam dinding menunjukkan pukul 06.42 WIB saat gue baru aja beres mandi.

Sial, gara-gara main PES bareng FF semaleman gue nyaris telat begini sekarang.
Mana kemeja belum di setrika.

Terpaksa, gue langsung memakai dan mengancingkan kemeja itu lalu menyambar buku, baju basket, sweater dan sabuk secepat kilat.

"Gon, sarapan?" Suara ayah sontak membuat gue menoleh.

Ada ayah dan ibu di sana, keliatannya mereka nunggu gue sarapan di meja makan.
Tapi sebagai jawabannya gue menggeleng, gila aja mana sempet gue kalau sarapan jam segini. "Nanti aja, Argon udah telat."

Ibu mengangguk sekilas. "Yaudah, jangan lupa sarapan di sekolah ya. Oh ya, nanti siang jemput ibu lagi."

Gue baru aja bakalan ngangguk, kalau gue nggak teringat sesuatu.
"Eh, kayaknya gak bisa, Bu. Ini hari rabu kan, Argon ada basket."

Setelah itu gue langsung berlari dan menyalakan motor, lalu melesat pergi untuk bergabung dengan jutaan pengendaraan motor yang memadati jalanan.

Gue harap, gerbang Persada belum dikunci.

***

"Gon, lagi-lagi lo masuk tim inti ya?" Adi sontak melempar bolanya ke arah gue, membuat gue agak limbung karena gak ada persiapan sama sekali.

Gue mengernyit sambil menangkap serangan dadakan itu. "Tim inti?"

Tim inti buat apa?

"Ah elah. Lo bolos latihan terus sih." Adi geleng-geleng kepala. "Lusa nanti, kita bakal latih tanding bareng Nusantara."

Loh?

Berita apaan ini, lagi-lagi gue ngedenger Nusantara lagi Nusantara lagi.

Ini kayaknya azab karena gue udah nolak ngejemput ibu tadi.

"Lusa?" Gue agak sedikit tercengang. "Gak ada yang ngasih tau gue perasaan."

"Ini kan udah gue kasih tahu." Adi terkekeh geli.

Adi ini salah satu temen sekelas gue, di kelas gue sama dia emang gak terlalu deket.
Tapi kalau diluar, lain lagi.
Dia bahkan orang yang narik gue untuk menemukan passion di ekskul basket ini.

"Gue kayaknya gak siaplah." Gue mencoba mengajukan penolakan. "Nanti kalau asal-asalan gimana? Gue mending jadi cadangan aja."

Alibi.

Tapi, cadangan emang enak, kan? Jadinya gue gak usah cape-cape datang ke Nusantara.

"Ini udah keputusan pelatih, Gon. Dan gue pikir meskipun lo tau kabar ini belakangan, tetep aja dia gak akan rela nurunin lo sampai ke kursi cadangan."

Oh anjir, sial.

Setengah kesal gue membanting bola, membuat benda sialan itu memantul-mantul dengan asal.

"Lagian, ibu lo ada disana, kan? Itu keuntungan." Adi tersenyum santai, diambilnya bola yang gue banting tadi lalu mencoba shoot dengan jarak cukup dekat. "Ya lumayanlah. Minimal lo bisa lay up sekali buat dapetin teriakan cewek-cewek di sana."

Tepat saat bola yang ditembakan Adi masuk, gue mengumpat dalam hati.

Sial, sial, sial.

Gue kan pengennya menghindari sekolah itu sejauh mungkin.

Kenapa sekarang tiba-tiba jadi begini?

***


The Dark SpectrumWhere stories live. Discover now