Part 1

105 15 0
                                    

Argon

Gue mengedarkan pandangan menjelajahi SMA Nusantara seraya mengunyah pisang goreng yang baru saja gue beli beberapa menit lalu.
Hari ini gue pulang cepat.
Seharusnya, gue bisa santai dan merasakan empuknya kasur dirumah, tapi nyatanya sekarang gue malah bengong bego disini.

LINE!
Tiba-tiba saja handphone gue berseru dua kali menandakan adanya pesan masuk dari aplikasi berwarna hijau.

[Armi FF]
Nyet, gak lupa kan jemput ibu? Jam dua! Jangan telat.

Gue berdecak setelah membaca pesan yang masuk itu.
Bacot banget sih si Armi ini, kalau bukan gara-gara dia yang ada acara latihan bareng bandnya gue gak mungkin terdampar disini, menunggu ibu selesai ngajar sambil makan gorengan di kantin.

Ya emang jarang-jarang sih gue bisa menginjak sekolah terakreditasi A yang katanya paling elite di ibu kota.
Meskipun ibu udah lama jadi guru Bahasa Inggris disini, tapi kunjungan gue kesini kayaknya masih bisa dihitung pake jari.

Pertama, tanding basket waktu gue masih kelas satu dulu.
Kedua, anterin buku ibu yang sempet ketinggalan.
Dan ketiga, sekarang.

Baru aja gue berniat melanjutkan memakan potongan pisang goreng, sebuah keributan muncul di ujung koridor kantin.

"Gue gak mau! Gak mau!" Seorang cewek berteriak.

Dan ketika gue lihat, gue menangkap tiga pemandangan ganjil―genggaman tangan, isakan seorang cewek dan cowok yang memohon-mohon.

"Sinetron abis." Rutuk gue.

Bisa-bisanya di jam pelajaran seperti ini, dua orang itu justru bertengkar di dekat kantin.
Gue geleng-geleng kepala, tidak mau mempedulikan mereka.

Namun ternyata cewek itu justru berlari ke bangku yang tak jauh dari tempat gue duduk. Kemudian menangis lagi.
Gue lihat, cowoknya juga mengejar lalu minta maaf.

Ngapain juga mereka pindah ketempat yang keliatan sama gue? Bikin enek aja.

"Gue gak ada apa-apa sama dia." Cowok itu kedengarannya menjelaskan. "Gue sama dia cuma temen."

"Gue gak butuh penjelasan lo lagi."

"Tapi lo harus dengerin gue, Sen." cowok itu kelihatannya masih memohon-mohon.

"Gak!"

"Iya!"

"Gak!"

"Iya! Lo gak tahu apa-apa! Jadi cewek diem aj―"

Gue berdeham sekali. "Lo bego? Apa gak bisa denger? Cewek lo daritadi udah bilang enggak."

Mau gak mau, gue angkat bicara juga. Gemes.

"Diem! Lo pasti anak kelas satu yang lagi cabut dari kelas, kan? Gak usah ikut campur deh!" Tandas cowok itu sambil menatap gue tajam.

"Gitu ya?" Gue menatap dia heran. "Yang penting gue gak pernah maksa cewek buat ngelakuin hal yang gue mau. Mendingan lo pergi gih, ganggu ketentraman aja."

Setelah gue bicara begitu, cowok itu sedikit menggeram lalu melangkah pergi meninggalkan gue dan ceweknya yang masih saja terus menangis.

Gue mencoba mengabaikan cewek itu dan melanjutkan memakan potongan pisang goreng dihadapan gue ini. Tapi isakan cewek itu kian mengeras dari detik ke detik.

"Lo gak pergi juga? Suara tangis lo ganggu selera makan gue nih kayaknya. Kecuali kalau lo berhenti, lo boleh disini."

Cewek itu kini melirik ke arah gue sambil terisak. "Cowok semuanya jahat! Bisanya cuma nyakitin! Lo juga!"

Gue terkekeh. "Dan cewek mau aja disakitin. Seharusnya lo intropeksi diri. Bukannya bangkit, lo malah nunjukkin kekalahan. Apa lo pantes nangisin cowok yang modelnya kayak cowok lo itu?"

"Dia bukan lagi cowok gue." Potongnya.

"Ralat. Mantan." Gue cepat-cepat menambahkan. Dan setelah itu gue bicara lagi. "Hidup itu kayak games. Kalau lo nangis, artinya lo jatuh dan lo kalah. Lo mau nyerah gitu aja?"

Cewek itu kemudian diam, mungkin ia sedang memikirkan sesuatu atau entahlah sepertinya dia masih dalam suasana patah hati.

Yang jelas karena sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 14.03 WIB, gue segera meluruskan niat gue kesini untuk menjemput Ibu. Gue bangkit dari kursi lalu memasukkan kedua telapak tangan ke dalam saku jaket.

Saat gue sudah beberapa langkah untuk pergi. Cewek itu membuka suara.

"Eh.. Thanks. Udah bikin perasaan gue lebih baik." Katanya.

Dan tanpa menoleh lagi, gue cuma mengangguk. "Itu bukan apa-apa kok."

Setelah itu gue sempat mendengar dia berkata sesuatu, tapi gue gak bisa menangkap ucapannya karena suara dia yang serak dan jarak kami semakin jauh.

Mungkin kalau lain kali gue kesini, gue akan menemui dia lagi.

***

"Ibu gak nyangka tadi dijemput Argon."

Malam ini saat makan malam, ibu masih saja membahas topik 'dijemput Argon' seolah-olah itu adalah kejadian paling langka yang terjadi ratusan tahun sekali.

Ya, memang langka sih. Karena biasanya, ibu pulang dijemput Armi.

Tapi gue akan sangat kapok kalau setiap menjemput ibu, gue mendadak menjadi trending topic begini. Apalagi tadi siang, saat gue mencari ibu ke ruang guru untuk menjemputnya. Ibu malah menarik gue sambil memperkenalkan gue pada teman-temannya.

"Kapok ah." Gue tertawa kecil. "Besok lo lagi aja, Mi."

"Ogah. Gantian." Armi kini mengangkat bahu sambil terkekeh. "Makanya jangan masuk area sekolah, jemputnya depan gerbang aja."

"Telat. Gue udah keburu dikerubunin ibu-ibu di ruang guru eh lo baru ngomong." gue melempar tatapan kesal ke arah Armi.

Tawa Armi seketika meledak. "Cie." ledeknya. "Tapi lumayan kan lo bisa gebet cewek di sana. Cantik-cantik. Imut-imut gitu. Secara lo anak guru, siapa sih yang gak mau?" Armi mengacungkan jempolnya.


Gue sedikit mengernyit. Cantik? Imut?

"Gue rasa otak lo harus di cuci deh, Mi." Gue geleng-geleng kepala.

Tadi siang aja, pas kesana gue malah ketemu cewek bermuka merah badut lagi nangis. Sebelah mananya yang imut?

***

The Dark SpectrumWhere stories live. Discover now