2: KesehaRian

114K 9.1K 369
                                    

Unedited

Hari ini Sheryl mogok. Otomatis, Rian berangkat naik mobil bersama papanya, dan itu sama sekali bukan suatu hal yang baik. Rian tidak pernah suka naik mobil. Dia merasa terkekang, terperangkap di dalam suatu ruangan. Apalagi kalau mobilnya bekas kena sinar matahari; Rian berharap bisa mati saat itu juga karena dia tidak bisa bernafas karena sesak. Untungnya, mobil papa Rian hitam bersih mengilap dan luar biasa sejuk, jadi Rian tidak terlalu tersiksa.

Rian jarang sekali bawa buku pelajaran. Paling-paling, hanya beberapa buku tulis sesuai jadwal. Sisanya, isi tasnya hanya kertas-kertas kucel, buku gambar kecil, pensil dan pulpen khusus untuk menebalkan gambar. Tidak ada yang heran, sebab memang Rian sudah terkenal dengan otak kreatifnya. Dia juga selalu diminta membuat poster acara sekolah. Dia juga pernah diajak masuk ekskul majalah dinding, tapi karena isinya cewek semua, Rian jadi angkat tangan. Bukannya satu ekskul dengan perempuan itu suatu hal yang jelek, tapi Rian tidak pernah bisa bekerja dengan orang yang berbeda jenis kelamin, entah kenapa. Rian merasa ... aneh.

Tidak sedikit yang tahu komik Rian, KesehaRian. Judulnya memang eye-catching, menarik. Kartunnya juga lucu dan warna-warni. Meskipun begitu, tidak kekanak-kanakan. Bisa dibaca semua orang, meskipun tema utamanya lebih mengacu pada kehidupan masa SMA.

"Kamu nanti naik apa pulangnya?" tanya papa Rian setelah mobilnya berhenti di depan pagar sekolah Rian.

Rian mengedikkan bahu, "Gapapa, gampang. Hati-hati di jalan ya, Pa."

"Iya. Kamu juga, belajar yang bener."

Mobil papanya pun bergerak menjauh. Rian berjalan menuju toko fotokopi sekolah, tempat komiknya dicetak beberapa lusin tumpuk sehari. Rian sudah akrab dengan pemilik tempat fotokopi itu, Pak Bambang namanya. Beliau orangnya baik, ramah dan tidak mencari untung terlalu banyak. Jadi, kalau komik Rian laku keras, sebagian uang hasilnya dia bagi dengan Pak Bambang, apalagi anak Pak Bambang yang masih kecil suka membaca komik Rian, jadi Rian makin semangat melanjutkan komiknya.

Seperti biasa, Farrel dan Raka sudah duduk di sebelah Pak Bambang di toko fotokopinya. Raka sambil membaca komik Rian, dan Farrel sambil mengobrol dengan Pak Bambang. Rian sudah hafal betul kebiasaan kedua sahabatnya itu.

"Lo masukin gue di komik lo yang kali ini," ujar Raka pada Rian, yang jauh lebih menyerupai pernyataan daripada pertanyaan.

Rian, yang baru sampai di toko tersebut, akhirnya duduk di sebelah Raka karena malas juga langsung mengecek hasil cetaknya. "Biasanya juga masukin, kok."

"Iya, tapi mukanya sama sekali nggak mirip gue."

"Perasaan lo doang," sahut Rian sambil tertawa ketika Raka menatapnya dengan mata disipitkkan. Memang, selama ini Rian melukiskan Raka sebagai orang Cina, bukan orang Sunda.

Pak Bambang menyela, "Cetakannya udah bapak pisahin di box khusus. Nanti kamu bilang kalau udah bagus, nanti bapak taruh di koperasi."

Rian mengangguk cepat, "Makasih banyak, Pak."

"Sama-sama."

Setelah mengecek hasil cetak komiknya dan tidak menemukan kesalahan fatal apapun, Rian pun pamit pada Pak Bambang dan berjalan menuju kelas bersama Raka dan Farrel. Mereka memang sekelas, entah kebetulan atau memang takdir Tuhan yang enggan memisahkan mereka.

"Ada PR nggak sih, hari ini?" Rian bertanya begitu ia dan Raka duduk di bangku paling pojok, sementara Farrel duduk di meja depan mereka bersama Jay, ketua kelas. Di kelas memang satu-satunya tempat Farrel bisa berhenti bercanda, entah karena ia duduk bersama Jay atau memang karena jiwa alimnya selalu bangkit saat ia duduk di kelas.

Jay menggeleng. "Setau gue nggak."

"Bagus, deh," sahut Farrel.

"Alhamdulillah," Raka merespon.

Sementara Rian hanya manggut-manggut, lalu mengeluarkan buku gambarnya. "Eh, lo tau nggak, kemarin gue laundry kemeja kesayangan gue yang biru itu. Trus, pas di jalan pulang, gue ngerasa nggak enak gitu. Kenapa ya, kira-kira?"

"Lo terlalu sayang sama kemeja lo, jadi lo takut itu kemeja kenapa-napa, akhirnya lo paranoid sendiri," terang Jay sambil sibuk menandatangani buku jurnal kelas, "Atau bisa jadi, sesuatu bakal terjadi sama kemeja lo."

Rian menghela nafas. "Sesuatu seperti?"

"Luntur, robek, kusut, atau bahkan menciut," jawab Raka yang membuat Farrel tertawa.

"Bener tuh. Celana gue pernah menciut abis dicuci. Sialan banget, 'kan. Ukuran udah pas, akhirnya jadi kekecilan," kata Farrel.

"Itu 'kan, celana," Rian mencoba mengelak.

Farrel mengedikkan bahu acuh, "Bisa jadi kemeja lo bakalan mengalami hal yang sama."

Ini salah satu dari sekian banyak susahnya punya teman yang realistis, karena terlalu realistis jadi cenderung pesimis. Rian tahu teman-temannya benar, tapi belum tentu, 'kan?

Jadi, sepulang sekolah, dengan diboncengi Farrel di vespa kesayangannya, Rian sampai di Fast&Clean dengan bokong kebas dan kaki pegal. Farrel, di lain sisi, nampak biasa-biasa saja dan hanya berjalan mengikuti Rian memasuki toko laundry tersebut dengan santai.

Fast&Clean agak ramai hari ini, jadi Rian dan Farrel duduk-duduk di sofa biru di pojok ruangan sambil menikmati kue ringan yang disediakan Bella secara cuma-cuma di meja. Beberapa orang juga ikut mencomot, membuat Rian berhenti memakan kue tersebut karena takut toples itu sudah penuh kuman-kuman dari tangan orang. Bukan apa-apa, tapi mereka belum tentu semuanya sudah cuci tangan, 'kan? Dan kalau boleh jujur, sebetulnya Rian sendiri belum cuci tangan.

"Rian, kenapa? Kemeja lo belum selesai. Zaid hari ini dateng, kok, jadi dia yang ngurusin baju lo," ujar Bella sambil duduk di sebelah Farrel. Cowok berambut agak cepak itu bergeser sedikit menjauh dari Bella, yang Rian tahu pasti karena parfum Bella yang berbau vanila, dan Farrel benci vanila.

Rian menghembuskan nafas lega. "Gapapa, gue tadi rada kurang tenang aja. Lo tau 'kan Bel, seseneng apa gue sama baju itu. Kira-kira selesainya kapan?"

Bella manggut-manggut, "Normalnya sih, selesai besok. Lo bisa percaya sama kita, Rian."

"Iya, gue tau."

Rian dan Farrel pun berjalan keluar dari Fast&Clean beberapa menit kemudian. Karena trauma naik vespa Farrel, Rian akhirnya menelepon taksi sementara sahabatnya itu pergi duluan ke rumah Raka. Farrel biasa-biasa saja ketika Rian menolak menaiki vespa-nya, karena Farrel tahu memang rasanya pegal kalau belum terbiasa.

Setidaknya, Rian bisa bernafas lega kali ini. Kemejanya baik-baik saja bersama Zaid.

× • ×

author note

hai! semoga memuaskan, ya! makasih udah baca :) x bye!

Kemeja Flanel Rian ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang