Satu : Perpisahan Pahit

Start from the beginning
                                    

"Tentu saja. Dengan senang hati, Mr. Meghan." Gadis itu tertawa dengan riang, membuat remaja lelaki itu juga tersenyum.

Senyum itu tidak luput dari mata gadis kecil itu. Astaga, remaja lelaki ini tersenyum, membuatnya semakin terlihat seperti pangeran dari negeri dongeng. Hanya kurang kuda putih, tapi tanpa kuda putih pun ketampanan yang ia miliki sudah membuatnya sempurna.

Tawa yang begitu riang seolah tak ada beban yang harus ia tanggung, membuat remaja lelaki itu tersenyum. Senyuman pertama yang ia berikan untuk orang lain setelah keluarganya. Sungguh gadis kecil ini sangat mempengaruhi dirinya bahkan hanya dari pertemuan pertama.

Sejak hari itu kedua insan itu mulai berteman.

-Love From The Rain-

Mentari belumlah terbit menyapa, awan hitam masih sepenuhnya menghiasi langit, tetapi suara burung-burung berkicau telah terdengar bak nyanyian pengantar pagi.

Sheryl Arina duduk di depan daun jendela, memandangi lingkungan sekitarnya yang masih dihiasi jalan. Ia berusaha menikmati setiap saat-saat yang ia lalui pagi itu walaupun hanya sedikit, itu berharga untuknya. Karena, pagi ini adalah pagi terakhir ia berada disana.

Hari ini ia akan berangkat menuju Amerika Serikat, tepatnya sebuah kota di negara bagian Washington. Sebuah kota yang dijuluki kota jam dan kota hujan. Kota hujan adalah kota yang paling Sheryl sukai. Ya, ia memang suka hujan. Disana Sheryl akan memulai kehidupan baru yang sudah lama ia nantikan. Walaupun begitu, ia merasa sedikit cemas dan sulit meninggalkan semuanya. Begitu banyak kenangan yang telah ia lalui disana. Semua hal itu tersimpan rapi dalam memori otaknya. Selain itu, ia yakin akan merepotkan banyak orang disana. Ah, seorang Sheryl Arina tak suka itu. Sungguh!

Namun, ia harus bagaimana lagi, tak ada pilihan lain. Itulah yang harus ia hadapi. Suka ataupun tidak, ia harus menikmatinya karena itu semua untuk kelangsungan hidup serta masa depannya. Toh, itu hanya sementara bukan untuk selamanya. Bersabar sedikit bukanlah masalah. Ia mendesah. Ia harus yakin bahwa ia bisa melewatinya. Sheryl Arina pasti bisa melewatinya.

Ketika awan hitam itu mulai memudar kemudian langit biru sedikit mengintip di balik nya, Sheryl beranjak lalu mengganti piyamanya dengan pakaian olahraga. Sheryl ingin berlari sebentar seperti biasanya lalu kembali ke penginapan sebelum sang mentari muncul sepenuhnya.

Tanpa sengaja ketika ia menuruni tangga kayu, ia bertabrakan dengan seorang tamu laki-laki berumur tiga puluh tahun. Tampaknya lelaki itu adalah turis, bukan penduduk lokal. Laki-laki itu melirik ke arah Sheryl dan tahu apa yang akan di lakukan Sheryl. Tapi, Sheryl tidak tahu kalau lelaki itu meliriknya dengan tatapan misterius. Sheryl menatap laki-laki itu dengan bingung, namun kemudian ia mengangkat bahu, berusaha tak perduli.

"Sorry," ucap Sheryl dengan bahasa inggris yang lancar.

"Yes, it is not a big problem," laki-laki itu menyahut dalam bahasa inggris dengan logat Amerika yang kental.

Sheryl hanya tersenyum dan berlalu meninggalkan laki-laki itu di tangga. Ponsel di saku laki-laki itu berdering. Dia segera merogoh sakunya dan menempelkan ponselnya di telinga setelah melihat siapa yang menghubunginya.

"Yes, Mr."

"..."

"Everything is right Mr.. I do like you command. Safe."

Love In The RainWhere stories live. Discover now