Prolog

103 9 1
                                    

Ia terduduk lesu di lantai. Buliran bening itu turun secara perlahan dari pelupuk matanya yang coklat. Ia tak mampu menahannya. Dadanya sudah terlalu sesak dan matanya sudah terasa perih sejak tadi. Andai, ia mampu, ia hanya ingin tertidur atau tersungkur saja di lantai, ia rela asal rasa sakit yang menghujaminya berhenti, paling tidak mereda. Ya, mereda.

Tetapi, sebelum ia benar-benar jatuh ke lantai, ada lengan hangat yang merangkulnya, membuat tubuhnya tetap terduduk.

Ia tahu siapa yang merangkulnya. Perasaan bersalah menghinggapinya karena sebenarnya ia mengharapkan lengan lain, lengan hangat yang lain. Yang ia lakukan hanyalah menangis di pundak orang yang merangkulnya sampai -kalau bisa- rasa sakit itu berkurang. Berkurang walaupun sedikit.

Lengan itu merangkul dengan sikap menenangkan walaupun itu sama sekali tidak membantu. Sungguh, itu tidak membantu. Air matanya tak mau berhenti mengalir walaupun ia sudah berusaha. Ya, air mata itu tetap saja mengalir.

Ia begitu rapuh dan lemah. Ia berharap ia akan hancur. Tapi tidak.

***

Nafasnya terdengar tidak beraturan. Ia berusaha menahan amarah yang menghimpit dadanya.

Ah, kenapa gadis itu harus meminta itu semua, apakah gadis itu tidak tahu kalau permintaannya itu sangat menyakitkan bahkan saking menyakitkannya, ia merasa terbakar.

Entah datang dari mana neraka itu hadir begitu saja dalam dirinya, membuatnya ingin berlari saja daripada harus menghadapi rasa sakit itu. Tetapi, ia bukan pengecut. Ia lelaki sejati. Tak ada kata pengecut.

Ia harus menghadapi rasa sakit itu walaupun ia harus terbakar oleh neraka yang ada dalam dirinya dan tersiksa di dalamnya entah sampai kapan atau bahkan ia bisa menjadi abu seketika. Tapi, sayangnya, ia hanya terbakar dan terus terbakar.

***

Lelaki itu hanya memandang dari kejauhan. Ia tak berani mendekat. Karena sebenarnya ia tak mengerti harus bagaimana.

Apakah dia harus bahagia? Tapi, bagaimana mungkin ia bahagia kalau gadis itu saja menangis. Ia tak mungkin bahagia kalau gadis itu menangis dan terluka.

Ia ingin sekali kesana memeluk gadis itu untuk menenangkannya, menjadi sandaran bagi gadis itu. Tapi sekali lagi, ia tak berani. Mengapa ia pengecut begini? Ia hanya perlu melangkah lalu memeluk gadis itu secara tiba-tiba dan ia bisa tenang. Bahkan, untuk mengangkat kaki saja terasa berat, seolah-olah gravitasi menahannya disana.

Kemudian, ia melihat gadis itu dipeluk oleh gadis yang lain. Membuat perasaannya sedikit lebih tenang. Ia tak bisa begini. Ia harus melakukan sesuatu walaupun ia tahu ia patah hati karenanya. Tapi demi gadis itu, patah hati pun bukan masalah untuknya. Asalkan gadis itu bisa tersenyum, apapun akan ia lakukan.

-Love From The Rain-

Terima kasih banyak untuk semua pembaca pertama novel ini yaitu teman-teman saya tercinta di SMA; Puspa, Meri, Anita, Thata, Fayruz, Husnul dan Ilus. Kalian semua luar biasa.
And special thanks to Sa'adah for help me also support me. 😘

Terima kasih karena sudah mau menunggu saya merangkai kata demi kata dalam novel ini. Terima kasih karena sudah mau terus mendukung dan memberikan saya semangat ketika saya merasa tak memiliki semangat.

Ini adalah novel pertama saya. Cerita ini mungkin terdengar klasik, tapi saya tetap berharap cerita ini dapat di nikmati oleh setiap pembaca dan kalian dapat mencintai setiap tokoh dalam novel ini.

Love In The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang