Lima

2.1K 153 0
                                    

Hari ini terasa aneh.

Tak ada tangis, suara gaduh atau apapun di dalamnya.

Aku melangkahkan kakiku ke dalam rumah. Tidak akan ada senyum di bibirku. Mungkin tidak akan pernah ada.

Lampu rumah belum juga menyala. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam.

Dan hilangnya keributan kecil itu membuatku khawatir.

"Ibu" panggilku pelan.

Sunyi. Hanya ada bunyi detakan jam dinding yang menggema.
Tanganku terulur menekan tombol lampu. Hingga sekarang semuanya terlihat.

Suasananya baik-baik saja. Tapi suasana rumah ini. Sangat kacau balau.

Benda yang mengisi rumah ini sebagian besar bergeser. Sofa yang tadinya menghadap lurus kini berubah menyerong. Pecahan pas, lukisan terjatuh membuatku merasa jika tempat ini bukanlah rumahku.

Dengan enggan aku menghela napasku lelah. dadaku terasa sesak luar biasa.

Kenapa waktu bisa merubah segalanya? Kenapa dia memberikan semua hal yang menggangguku akhir-akhir ini.

Rasanya jika bisa satu kali saja Tuhan memberiku pilihan untuk berkedip satu kali.

Aku tidak ingin memilihnya dulu.

Aku lebih memilih tidak mengedip dan tersenyum penuh rasa bahagia pada semua orang.

Bukan malah mengedip satu kali dan semuanya langsung terenggut begitu saja.

Ya semuanya. Keluarga bahagiaku, Ayahku yang baik, ibuku yang manis, aku yang manja, juga adikku yang belum merasakan betapa kejamnya Ayah dan ibunya.

Kakiku melangkah hati-hati. Takut-takut kalau kakiku salah melangkah dan akhirnya berdarah.

Hingga kini aku berdiri di depan pintu kamar ibuku.

Tempat ini sama. Tak ada kebahagiaan. Auranya telah berbeda.

Dulu mungkin aku sangat bersemangat masuk ke dalam kamar ini. Tapi sekarang?

Tak ada secuilpun keinginan itu dalam diriku.

Semuanya lenyap. Seiring rasa sakit yang makin lama makin membunuhku.

Aku membuka pintu itu dengan hati-hati. Lalu menyalakan lampunya.

Betapa kagetnya aku saat melihat ibuku terkulai lemas di lantai. Pergelangan tangannya berdarah.

Dia pingsan. Ya Tuhan apa yang harus ku lakukan?

Aku lalu mendekatinya. Mengangkat kepalanya ke atas pangkuanku. Wajahnya terlihat tenang.

Otakku sibuk berpikir. Menggeser-geser layar ponsel dan langsung menekan -entah nomor siapa di sana.

Saat menunggu nada sambung berhenti dan berganti suara siapa saja di sana. Aku menangis. Terisak sangat keras. Dadaku sakit.

Seragam sekolahku bahkan kini telah bau anyir.

Aku memang tidak peduli apapun keadaan ibuku. Tapi saat-saat seperti ini? Bagaimana bisa aku mengabaikannya.

Isakanku semakin kencang saat suara seseorang terdengar di sana.

"Halo!?"

Terdengar suara cemas di ujung sana. Dia segera menutup teleponnya saat aku lagi-lagi tak menjawab pertanyaannya.

Aku menangis. Dan Orang yang ku hubungi ternyata Pandu.

*

"Menangislah" pintanya sangat lembut. Pandu benar-benar berniat menolongku.

Dia datang ke rumahku sesuai janjinya. Mengangkat tubuh ibuku, membawanya ke rumah sakit. Dan terakhir, menenangkanku.

Air mataku sudah kering. Setelah lama menangis sejak tadi. Aku akhirnya memutuskan berhenti menangis. Dan terdiam tanpa suara dengan pandangan kosongku.

Pandu sejak tadi mengajakku berbicara. Dia memintaku mengganti bajuku. Dan Aku menolak tentu saja. Tapi dengan tegas dia menyuruhku melakukannya.

Dan aku menyerah. Aku sudah lelah berdebat dengan siapapun.

Pikiranku kacau. Perasaanku campur aduk. Dan hatiku terbakar amarah begitu hebat.

Ayahku bahkan tidak mengangkat teleponku sama sekali. Dan aku mengirimnya pesan lewat aplikasi obrolan yang dia punya.

Tapi tak ada tanda dia melihat sedikitpun ke arah sana.

Sebenarnya kemana dia? Apa yang terjadi?

Kenapa keadaan ibuku bisa seperti itu?

"Lisna," panggil Pandu tidak menyerah. "Dengarkan aku" pintanya lalu berjongkok di hadapanku. "Aku di sini. Kamu boleh meluapkan segalanya padaku. Kamu boleh memukulku, mengataiku, atau apapun. Aku akan menerimanya. Tapi jangan diam seperti ini. Aku mengkhawatirkanmu"

Mataku mengerjap. Sadar bahwa bagaimanapun aku mengingkarinya. Orang itu tetap Pandu.

Cowok sialan yang ku temui beberapa bulan lalu.

Aku kehilangan kontrolku. Mulai berdiri ke arah tembok rumah sakit. Menghajar tembok itu secara bertubi-tubi. Bunyi suara tulang jari-jariku terdengar jelas.

Bahkan ujung-ujungnya mulai mengelupas.

Pandu memelukku dari belakang. Lalu memutar tubuhku hingga kini aku berada di pelukannya.

Dia sama sekali tak berniat melepaskan tubuhku.

Cowok itu terus memelukku walau aku memukul dada bidangnya bertubi-tubi.

"Lampiaskan semuanya padaku. Aku menerimanya. Asal hati kamu merasa lega"

Akhirnya aku berhenti memukulnya.

Dia terlalu baik dan terlalu bodoh!

Bukannya marah, dia malah memberiku kelembutannya.

Bukannya membentakku, dia malah memelukku.

Dan untuk beberapa detik aku termangu. Lalu menyadari satu hal yang ada dalam pikiranku saat ini.

"Antar aku menemui Ayahku"

Dengan baiknya. Dia mengangguk.
Dan kami bergegas mencari Ayahku.

Badboy I Love You! [1/7 END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang