Dua

3K 159 0
                                    

Suara tangis memilukan kini terdengar di telingaku. Tapi tak ada perasaan apapun sekarang.

Semuanya telah berlangsung cukup lama. Hingga aku sudah terbiasa akan hal itu.

Aku melepas sepatuku. Menaruhnya ke rak sepatu di samping pintu masuk. Lalu bergegas masuk tanpa merasa peduli.

Ya Tuhan...jangan salahkan aku atas sikapku ini. Tapi salahkan mereka.

Salahkan mereka karena telah membuat kebahagiaanku hancur saat aku masih membutuhkan mereka.

Salahkan mereka yang selalu membuatku takut saat aku berada di antara mereka.

Tak ada suara pecahan apapun di atas sana. Aku mengernyit bingung.

Menyadari jika semua benda-benda itu masih aman di tempat pajangan.

Benda-benda kaca yang pinggirannya ku lem kembali dengan jariku sendiri. Benda-benda kaca yang kadang melukaiku tapi membuatku merasakan sakit.

Ini aneh. Aku mendengar suara tangis Ibuku  di kamarnya. Tapi sosok Ayah tak ada di sana?

Kemana dia?

Oh aku melupakan satu hal sekarang.

Ayahku pasti sedang pergi dengan selusin kekasihnya itu.

*

Sudah hampir dua jam. Dan suara tangis ibuku sudah hilang.

Sepertinya saat ini lah aku harus pergi menemuinya dan menidurkannya dengan tulus selama ini.

Ya, semuanya kacau.

Ibuku yang terlalu baik, Ayahku yang terlalu jahat, Aku yang lelah peduli, Dan adikku yang tidak bersama kami lagi.

Dia sengaja di titipkan di rumah Tante Nisa di Bandung. Umurnya yang masih terlalu kecil membuatku memaksa ibuku untuk menitipkannya.

Dia tidak boleh bernasib sama sepertiku.

Mendengar kedua orang tuanya ribut saat dia masih sangat kecil. Melihat kehancuran sebuah keluarga kecil yang menjadi harapannya selama ini.

Kakiku melangkah tanpa ragu ke arahnya. Mungkin dulu aku selalu babak belur saat berangkat ke sekolah.

Sisa-sisa tamparan serta pukulan dari Ayahku melekat erat di tubuhku.

Semua teman-temanku hanya tahu jika itu akibat aku latihan silat. Tapi kenyataannya?

Ayahku lah yang memukulku. Tanpa rasa ampun.

"Bu," panggilku pelan membuka knop pintu kamarnya.

Seperti dugaanku. Kamar itu pecah tak beraturan sekarang. Dan ibuku terkulai lemah di lantai.

Ibu sangat mencintai Ayahmu Lisna. Dia imam ibu di surga nanti.

Suara ibu menggema. Itulah kalimat yang membuatku akhirnya berhenti ikut campur dalam urusan mereka.

Karena yang aku tahu. Rasa cinta tak akan pernah membuatmu mendapatkan kewarasan dirimu sendiri. Dia malah akan membuatmu merasakan lebih dalam apa itu sakit, terluka, dan air mata.

Sama seperti ibuku.

Dia bilang dia masih mencintai Ayahku. Tanpa berpikir panjang apakah Ayah juga masih mencintainya?

Kepedulian terhadap dirinya sendiri telah lenyap! Di gantikan oleh rasa cinta yang selalu membuatku muak!

"Ayo," aku membantu ibuku berdiri. Menggenggam tangannya. "Lisna bantu," bagaimanapun jahatnya aku dengan ketidakpedulianku. Tapi tetap saja aku tidak akan membiarkan ibuku menderita seperti sekarang ini.

Bibirnya yang pucat tersenyum. Keadaannya sangat kacau sekarang.

Dia terlihat berbeda dari beberapa tahun yang lalu saat semuanya terjadi.

Ya semuanya. Dan aku benci saat harus mengingatnya.

"Kamu sudah pulang Lisna?" Tanya ibuku pelan. "Apa Ayahmu juga sudah pulang?"

Aku mencengkram lenganku sendiri. Meluapkan segala emosi yang ku pendam saat aku mendengar ibu mengatakan hal itu padaku.

Ya Tuhan...apa kau masih mau melihatnya seperti ini?
Jika aku boleh meminta. Aku ingin kau membahagiakannya.

"Ayah belum pulang Bu," jawabku. Rasanya aku ingin menggaruk lidahku sendiri saat mengatakan kata 'Ayah' untuk manusia tak berhati seperti dia.

Tapi di depanku ada ibuku. Dan aku tak boleh membuatnya menangis histeris lagi.
Setidaknya, saat aku berpura-pura peduli pada Ayahku.

Ibuku pasti akan tersenyum tulus ke arahku...

Badboy I Love You! [1/7 END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang