Tapi, baru berjalan beberapa langkah, sebuah tangan menahanku.

"Urusan kita belum selesai." dengan perawakan maskulinnya, harusnya aku merasa takut pada pria ini. Tapi entah kenapa melihatnya sekarang aku justru merasa geli.

"Kamu kan urusannya sama dia bukan sama aku!" geramku kesal.

"Tapi kemarin tanganmu ini," dia mengangkat tanganku tepat di depan wajahku "memukulku hingga bibirku terluka. Jadi aku ingin melakukan hal yang sama." Dia mengatakannya sambil tersenyum manis.

Perasaan geli yang tadi aku rasakan, perlahan menghilang. Berganti dengan rasa ngeri karena mendengar apa yang dia ucapkan serta tatapan yang dia berikan padaku. Aku mencoba melepaskan cekalan tangannya namun percuma, dia terlalu kuat memegangku. Aku terus meronta-ronta kesal, sampai akhirnya hal yang tak terduga terjadi. Dia yang sejak tadi tidak mengeluarkan suara, tiba-tiba memukul pria itu kencang, hingga cekalan tangannya pada tanganku terlepas dan tubuhnya terkulai di tanah. Aku hanya terpaku, kejadiannya begitu cepat. Kebingungan masih menyelimutiku bahkan saat dia menarikku dan mendudukkanku di kursi penumpang. Tak lama kami sudah pergi meninggalkan tempat itu dengan mobilnya.

" Tadi itu apa?" aku bertanya saat kesadaranku sudah kembali.

"Hanya perdebatan kecil antar pria"

"Perdebatan?" Dia hanya mengangguk.

"Lalu kenapa aku terlibat?"

"Kamu lupa kemarin mukul dia sampai bibirnya bengkak? Harga dirinya pasti hancur berkeping-keping." Ucapnya dengan nada sedih yang dibuat-buat.

"Tapi aku kan cuma nolongin kamu."

"Aku nggak minta," sahutnya cepat.

Aku menoleh padanya, menatapnya kesal "Kalau kemarin aku nggak nolongin kamu, pasti sekarang kamu sudah terkapar di rumah sakit. Babak belur!" sindirku tajam.

"Kamu tinggal dimana?" dia bertanya. Mengabaikan sindiranku.

"Bisku udah jalan tadi, turunin aja aku di halte Ratu Plaza. Aku nunggu bis lain aja di situ."

"Aku bisa anterin kamu pulang."

"Nggak usah! Aku bisa pulang sendiri." Balasku ketus.

"Aku antar."

"Rumahku jauh, turunin aja aku di Ratu Plaza."

"Aku mau anterin kamu pulang!"

"Kamu nggak ngerti yah artinya nggak usah. Aku nggak mau dianterin pulang sama kamu!" Dia akan membantah ucapanku, tapi aku menahannya dengan mengangkat telapak tanganku agar dia diam. " Kalau kamu butuh alasan, pertama kita nggak saling kenal. Kedua, itu artinya kamu orang asing. Ketiga, kamu nyebelin. Jadi turunin aku di depan, dan makasih atas tumpangannya."

Dia tertawa mendengar balasanku. "Kamu cerewet yah?"

Aku mendelik mendengar ucapannya. "Itu haltenya, turunin aja aku di sana."

"Kok kamu nggak berhenti?" ucapku, saat dia tidak menghentikan mobilnya dan melewati halte Ratu Plaza begitu saja.

"Aku udah bilang dari tadi mau anterin kamu pulang. Rumahmu di Cikarang kan?" aku terhenyak, kaget karena dia tahu aku tinggal di mana. "Bis yang kamu naiki tadi jurusan Cikarang." Jelasnya menjawab kekagetanku.

"Aku nggak mau kamu anterin pulang."

"Aku memaksa."

Tahu tidak akan menang dengan perdebatan ini aku memilih diam, dan akhirnya membiarkan dia megantarku pulang. Selama hampir dua jam perjalanan terkadang kami bicara. Dia bercerita kalau pria yang tadi memukulnya bernama Reno, teman SMA-nya. Kemarin malam mereka berkelahi di club hanya karena hal sepele -apalagi kalau bukan masalah wanita- yang berlanjut dengan acara tonjok menonjok di tempat tadi.

ReconciliationWhere stories live. Discover now