5

8.8K 986 142
                                    

Ome adalah tipe perempuan yang tidak bisa diam. Bukan, bukan seperti Biru yang loncat sana-sini. Ome dahulu adalah workaholic yang mendadak berhenti demi suksesnya homeschooling Biru. Namun ketika Biru mulai masuk sekolah fotografi di Jakarta, Ome ingin memiliki pekerjaan sampingan dan mencari kesibukan.

Awalnya Ome membeli mesin jahit dan berniat menjadi tukang jahit, sayangnya ia terlalu malas membuat pola, menggunting, menjahit dan mencari pelanggan. Sekarang mesin jahit itu di gudang, kalau saja penasaran nasibnya.

"Ome kan suka baca, buka toko buku aja," celetuk Biru suatu hari. Maka terciptalah Blue Sky. Nama itu lahir sesuai nama kedua buah hatinya, sebab Langit menolak mentah-mentah namanya dipakai untuk toko buku. Sekarang, hampir setiap penduduk di Bandar Lampung mengenal Blue Sky. Toko buku itu tidak hanya menjual buku baru, tetapi banyak menjual buku bekas. Ya, membeli buku bekas memang solusi cerdas dibandingkan membeli buku bajakan, menurut Ome, membeli buku bajakan sama dengan tidak menghargai jerih payah dan keringat orang lain.

Hari masih pagi saat Langit memasuki ruko dua lantai dengan plang biru bertuliskan Blue Sky dengan tinta putih. Lonceng berdenting begitu membuka pintu. Senyuman barista yang Langit lupa namanya tersungging.

"Kopi Bang Langit?" tawar barista itu. Ya, di Blue Sky memang ada area kecil untuk ngopi dan berbincang-bincang. Meski hanya sekitar empat atau lima meja kecil yang disediakan.

"Makasih. Saya udah ngopi tadi. Bu Nala ada?"

"Masuk aja Mas Langit, kayaknya tadi di belakang deh," jawab Rudi, begitu nama yang terpampang di dadanya. Terima kasih diucapkan Langit sebelum mengangguk dan berjalan.

Langit lupa kapan terakhir ke sini. Yang jelas, kesibukan dan sedikit menghindari ingatan akan Biru membuatnya enggan. Lihat saja dinding-dinding bercat hitam dengan infografis soal minat buku yang ditulis dengan kapur. Atau doodle-doodle yang digambar oleh Olan dan Biru. Entah mengapa, hanya Langit yang payah dalam urusan menggambar.

"Diem deh, Ngit. Tuh, beresin buku yang berantakan. Ini kerjaan sama Olan. Iya kan Bro?" sahut Biru sambil melirik Olan. Partner in crime Biru itu hanya tersenyum jahil dan memamerkan kaleng-kaleng cat yang mereka beli sendiri. Ome sendiri hanya menuruti kemauan Biru.

Dan inilah hasil kerja mereka. Dinding bercat hitam. Dia doodle-doodle putih makhluk entah dari mana yang digambar Olan. Dan beberapa tulisan bergaya berantakan berisi quote soal buku yang ditulis oleh Biru yang juga diselingi makhluk-makhluk tak terdefinisikan yang tidak pernah dipahami Langit.

"Ih tulisannya, jelek amat sih," ejek Langit.

"Heh, ini tuh seni tahu enggak sih? Sesuatu yang susah dibaca akan mudah diingat," kata Biru sambil mengacung-acungkan jarinya. Dan saat itu Langit hanya mendengus dan meninggalkannya. Membereskan buku-buku yang terlihat miring.

Ruangan Ome kosong begitu Langit membuka pintunya. Seorang gadis berkerudung abu-abu berjalan dengan kardus coklat.

"Bu Nala kayaknya di atas, Mas Langit," sahutnya begitu melihat Langit yang celingukan.

"Oh, makasih."

Langit berbalik dan menaiki tiap tangga. Bingkai-bingkai foto di sisi kanan membuat hatinya menghangat. Semuanya berisikan foto yang dijepret Biru. Kebanyakan adalah aktivitas membaca atau pameran buku di daerah yang ia tapaki.

Langit sudah sampai di lantai dua, tempat di mana novel-novel dan buku anak-anak bekas layak baca diletakkan. Ome tampak berdiri menghadap jalan raya lewat jendela besar berukuran 2 x1 m. Tangannya bersedekap. Perlahan Langit mendekati Ome.

24 [Out In Bookstores]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora