10. Musuh yang Bukan Musuh

13.6K 1K 45
                                    

BETH

     Dalam lelapku, aku mendengar suara umpatan, membuat aku terjaga dari mimpi yang rasanya belum lama menenggelamkanku.

Mengerjap, aku baru sadar jika aku sudah berbaring di atas ranjang yang nyaman, dan Alfa sedang bicara di telpon seraya duduk di sisi tempat tidur, memunggungiku. Dia berbicara tentang penghianatan dan lelaki bernama Abraham, dan entah kenapa tulang belakangku seolah dialiri rasa dingin yang tak nyaman.

Aku tidak mau mendengar apapun tentang perusahaan Alfa atau sejenisnya. Karena jika aku tau dan berpura-pura tak tau, sama saja aku menghianati papa. Dan jika aku memberitau papa, sama saja aku menghianati Alfa.

"Apa itu masuk akal? Abraham yang ditugaskan menangani kilang minyak itu. Dan bagaimana bisa..." Alfa kehilangan kata-katanya dalam balutan rasa frustasi. Dan aku sadar betul apa yang sedang ia bicarakan kini. Tentang kerja sama dengan pengusaha Arab. Dan aku sungguh tidak mau dengar. Tapi tubuhku bahkan menolak untuk bergerak. Aku hanya terpaku, terus saja mendengarkan ocehan Alfa dengan pria di sebrang telpon.

"Modal yang dibutuhkan tidak sedikit. Dari sedikitnya orang kita yang tau, apa ada orang yang sanggup mengajukan proposal itu?" kata Alfa lagi. Apa papa sudah menjalankan aksinya?

Setelah itu, lama Alfa terdiam. Dia hanya mendengarkan lawan bicaranya dengan rahang yang mengeras. Dia sedang menahan amarah... dan kepedihan. Dan aku tidak sanggup hanya berdiam diri melihatnya, sehingga aku bangkit dan memeluknya dari belakang.

Alfa tersentak kaget, sebelum kembali rileks ketika menengok menatapku. Dia berusaha keras mengukir senyum, walau ternyata senyuman itu gagal sepenuhnya.

"Besok aku akan masuk kantor. Dan untuk kali ini, jangan buat orang itu lolos begitu saja." Alfa memutuskan sambungan. Menaruh ponselnya di sisi lampu tidur sebelum kedua tangannya ditumpuk di atas kedua tanganku, seolah memeluk dirinya sendiri.

"Apa aku mengganggu tidurmu?"

"Aku lebih terganggu dengan kemarahan... dan kepedihanmu."

Bahu Alfa menegang, seolah dia tidak menyangka aku bisa membacanya semudah itu. Melepaskan tanganku yang melingkari pinggangnya, lelaki itu berbalik untuk benar-benar menatapku. Tapi tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Hanya seulas senyum konyol yang mungkin dia harap bisa menutupi keingintahuanku.

"Apakah memeprcayaiku sesulit itu?"

"Hanya ada sedikit masalah di kantor."

"Bukan tentang masalah kantormu yang aku ingin tau, Alfa."

"Lalu apa? Telpon tadi memang masalah pekerjaan."

Aku terdiam cukup lama. Menatapnya. Berusaha menyampaikan maksudku dengan diam. Tapi rasanya percuma. Mungkin kami belum sedekat itu untuk mengetahui maksud yang disampaikan lewat tatapan. Atau, kami belum sedekat itu untuk Alfa bisa terbuka tentang keluarganya.

Aku mendesah, memutuskan tatapan untuk turun dari tempat tidur. "Mungkin kau memang belum bisa mempercayaiku untuk menceritakan tentang dirimu... atau keluargamu." Aku melangkah, hendak kembali ke kamar milikku sendiri. Dan merasa kekanakan dengan perasaan marah konyol, yang mungkin seharusnya tidak perlu. Toh aku juga tidak menceritakan tentang keluargaku. Tentang papaku yang mempunyai niatan curang.

Alfa menarikku, membuatku jatuh duduk di atas pangkuannya. Mendekapku erat, seakan takut aku akan lari. Dia menyandarkan dagunya dipundakku.

"Aku tidak tau dari mana aku harus memulainya. Semua tentang keluargaku terasa begitu... menyakitkan." Suara bergetar Alfa terasa menyesakan dadaku. Aku mendorongnya terlalu jauh.

ALFA - BETH ✔️ (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang