Prolog

26.1K 1.1K 11
                                    

Dua orang dewasa yang berada di atas pelaminan dengan gaun dan tuxedo yang berwarna senada berdiri disana dengan senyum yang tampak amat bahagia dan menyenangkan, tidak merasakan apa yang gadis itu rasakan. Goresan luka.

Ayah dan seorang Nenek Sihir—Ibu Tirinya, begitu katanya.

Adiva  hanya memandang sinis keduanya. Tatapan benci dan menyedihkan yang selalu terpampang jelas di matanya saat menatap kedua orang yang terlihat selalu bersama-sama. Dan seorang gadis muda yang sedang duduk di sampingnya sedang berusaha menahan air yang akan tumpah dari matanya.

Hanya senyum palsu yang dapat ia tunjukkan pada wanita dan pria itu ketika menatapnya, senyuman yang tampak bahagia, namun menyedihkan di belakang. Menurutnya, wanita itu lebih dari seorang Nenek Sihir, wanita itu iblis di hidupnya. Semenjak wanita itu hadir kedua orang tuanya tak pernah akrab, bahkan selalu membuat suara-suara yang tidak diinginkan setiap anak.

"Luna gak perlu nangis, mereka gak perlu menjadi tangis kita." ucap Adiva seraya menatap adik bungsunya. "Ayo ikut Kakak, kita gak boleh nangis di hadapan mereka."

Adiva menarik Luna untuk menjauh dari tempat resepsi, berhubung acara pernikahan Ayahnya outdoor, Adiva bisa menjauh dari keramaian.

"Jangan pernah sekali-sekali kamu nangis untuk mereka lagi." Adiva mengusap air mata yang melunturkan dandanan gadis remaja itu. "Janji sama Kakak."

Jari kelingking Adiva dan Luna saling bertautan. "Luna janji,"

"Tuh, lihat make-up kamu luntur. Jadi jelek," Adiva terkekeh. "Sini Kakak benerin,"

"Kata Ryan, gimana pun wajah Luna, Luna selalu cantik." ujarnya. Ryan yang merupakan pacar Luna semenjak kelas 7 hingga sekarang kelas 9. Awalnya Adiva hanya mengira hubungan Luna dengan Ryan hanyalah sebatas cinta monyet yang beberapa bulan putus. Namun, ia salah, buktinya Luna dan Ryan awet-awet saja.

"Kalian disini," ucap seorang laki-laki di belakang Luna. "Luna nangis lagi?"

Luna menggeleng. "Luna gak nangis Kak,"

Anak tertua di keluarga ini, Ale. "Tuh make-up-nya luntur."

"Luna mah cengeng," Adiva dan Ale tertawa menatap adiknya yang manyun.

"Kalian Aunty cariin ternyata disini. Yuk, makan dulu." Aunty Amel, Adik dari Mamanya yang sudah Adiva dan kedua saudaranya anggap seperti Mamanya sendiri.

"Yuk." mereka berjalan mengikuti Aunty Amel didepannya.

"Kakak jangan bilang ke Aunty kalo tadi Luna nangis." bisiknya pada Adiva dan Ale. Keduanya hanya tertawa jahil.

"Aunty!"

"Kakak!"

A.A.R [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang