Ia meringis, “Aku bangun kesiangan, pagi tadi tante kecentilan itu terus mengomeliku. Uhh.. today’s bad day,” jawabnya dengan ekspresi menggebu-gebu saat menyebut atasannya –Madam Rita- Tante centil. Andra tertawa sambil menggelengkan kepala.

“Ngomong-ngomong, seharian tadi aku tidak bertemu dengan Endro. Kemana orang itu?”

“Oh iya, kita tak membahas masalah ini di grup chat. Endro bilang ia sedang sakit perut.”

“Orang itu mau aku bunuh? Kenapa tidak bilang sih?” pekik Andra. Dengan cepat ia mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Mengirimi pria itu sms bernada makian. Memangnya Andra dianggap apa oleh lelaki itu sebenarnya. Teman dari kecil? Andra rasa tidak.

“Kau SMS dia? Telat. Endro sudah pamit tidur sewaktu aku masih di kantor.”

“Kau sudah menyuruhnya minum obat ‘kan?” Andra menatap wajah Tia dari samping. Meminta jawaban.

“Sudah. Aku juga sudah mampir ke apartemen-nya. Sudah membuatkannya bubur. Sudah membersihkan piring-piring kotor, sudah menyapu lantai. Apa yang ingin kau katakan sudah aku kerjakan, bos.”

“Syukurlah kalau begitu. Aku lega Endro punya pacar yang baik dan pengertian sepertimu. Kau tahu, aku kelewat panik mengetahui dirinya sedang sakit. Pria itu ‘kan, sewaktu kecil sering sakit-sakitan.”

Demi apapun yang ada di sini, Andra bersyukur Endro mempunyai Tia. Setidaknya pria itu tidak melakukan semua hal sendiri. Meski mereka teman sejak kecil, tetap saja kewajiban Tia untuk mengurus Endro. Dan ia tidak mau membuat semuanya salah paham terhadap hubungannya dengan Endro. Andra tidak mau di jatuhi pertanyaan oleh orang-orang, “Pacarnya yang mana sih sebenarnya?”

Mobil yang ditumpangi Andra telah sampai pelataran rumahnya. Bangunan mewah yang berdiri di atas tanah kompleks orang-orang elit. Peninggalan orang tua Andra sebelum kecelakaan besar terjadi. Ayah dan Ibunya meninggal di perjalanan sewaktu ingin menjemput putrinya pulang sekolah. Andra tak begitu mengingatnya. Itu sekitar dua puluh tahun yang lalu. Ia sudah terbiasa tinggal sendirian.

“Terima kasih atas tumpangannya Tia. Selamat malam, hati-hati di jalan.”

“Kau juga cepat masuk. Kau tadi sempat kehujanan,” teriak Tia dari dalam mobil. Kemudian gadis itu melambai pada Andra, bermaksud pamitan. Perlahan mobil itu melaju, Andra terus mengamatinya dari jauh sampai mobil Avanza itu hilang dari pandangan.

“Hari yang melelahkan.”

==========

Andra menghembuskan napas kasar. Dua botol minuman isotonik di kedua tangannya telah tandas dalam sekali tenggak. Pasalnya hari ini ia sibuk wara-wiri mengambil selebaran pamflet untuk acara penggalangan amal di kantornya, dan sebuah banner besar untuk menyambut Wakil Pimpinan Redaksi yang baru.

Andra menaruh kepalanya di atas meja foodcourt kantor yang berada di lantai bawah. Membiarkan wajahnya di terpa terik matahari yang melintasi kaca gedung. Kepalanya serasa berputar saat mengingat bau mesin kendaraan yang berlalu-lalang. Andra bersumpah, sebentar lagi ia pasti akan muntah.

Bunyi kursi yang bergeser membuat Andra terlonjak kaget. Ia menoleh sedikit pada manusia yang sudah duduk rapi berhadapan dengannya. Endro tanpa banyak bicara melahap makanan pada baki yang dibawa. Tanpa mengindahkan keberadaan pria itu, Andra menaruh kepalanya lagi.

“Kau kenapa?” tanya Endro disela-sela kegiatan makan siangnya.

“Hanya sedikit lelah dan you know what I do, today,” balas Andra singkat, “Sakit perutmu sudah sembuh?”

“Tentu..,” tukas Endro. Seakan baru tersadar, pria itu meletakkan sendok pada meja dengan keras. Tangan kanannya dengan cepat mengambil ponsel pintar yang berada di saku celana kain yang sedang ia kenakan, “Kemarin teman SMA-ku mengirimiku video.”

The Fact. - On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang